Senin, 16 Desember 2013

Cinta di Kedai Ice Cream


Sore itu langit Jakarta cukup cerah, aku berjalan menikmati suasana sore yang indah. Lampu-lampu jalanan mulai dinyalakan, di ujung sana matahari mulai turun, pulang ke peraduannya.
Aku sampai di kedai kecil tempatku bekerja. Seperti biasa aku melayani tamu-tamu yang mulai berdatangan. Jonathan dan helena, yah mereka lah pelangganku.
“Vanila toping oreo, cokelat dengan toping fruit” aku menghidangkan 2 mangkuk ice cream favorit mereka.
Aku menatap pasangan itu sambil menikmati semangkuk ice cream cokelat favoritku, aku perhatikan cara Jonathan membuat nyaman Helena, sambil sesekali aku tersenyum melihat tingkah manja Helena.
“Hmm apa aku bisa seperti Helena? Sungguh sempurna dia, aku hanya penjual ice cream, mana bisa aku seperti dia” batinku.
“Oreo blend 1, ice cream coklat 1″ tiba-tiba seseorang masuk mengagetkanku.
“Ha, oh iya, silahkan duduk, ditunggu ya” jawabku gugup
Dengan cepat segera aku antarkan pesanannya.
“Silahkan” Aku meletakkan pesanannya.
Saat ia pulang ia meninggalkan secarik kertas “aku menunggumu” ah mungkin hanya tulisan iseng saja fikirku.
Hari-hari berikutnya dia datang lagi, ia selalu datang sendiri namun ia pasti memesan ice cream cokelat tanpa pernah memakan bahkan menyentuhnya pun tidak dan saat pulang ia selalu meninggalkan secarik kertas dengan tulisan yang sama.
Hari ini hujan deras sekali, dia datang dengan pakaian sedikit basah. Pesanan yang sama, aku duduk di hadapannya, kebetulan kedai sedang sepi, dia tersenyum meminum cokelat hangat yang aku beri. Aku menemaninya sambil melahap ice cream di hadapanku.
Saat ia pulang, ia meninggalkan lagi pesan di secarik kertas namun dengan tulisan berbeda “akhirnya kau datang”. Ia juga meninggalkan bingkisan kecil, aku membukanya. Oh betapa terkejutnya aku, sketsa wajahku, sedang duduk, melayani tamu dan masih banyak lagi lengkap dengan tanggal ia membuatnya.
“Apa ini?” tanyaku bingung
“Buat kamu” jawabnya tersenyum “Tetaplah temani aku sesibuk apapun kamu” lanjutnya lalu keluar meninggalkan kedaiku.
Aku tersenyum menikmati semangkuk ice cream cokelat

Buat Kamu Saja

Sore hari di gazebo kampus,
“hatiku, mana hatiku?, sepertinya hatiku sudah direbut olehnya” ucap Desy sambil menekan dadanya kuat-kuat, kepada teman-temannya,
“kamu sakit?” ucap Linda sambil memegang dahi Desy sambil tertawa,
“ya udah Des ambil lagi aja” saran Sundari,
“gak usah deh, kayanya dia juga gak begitu merasa kehilangan hatinya” ucap Siska,
“kalian ngomongin apa sih? gak ngerti deh” ucap Sofi bingung,
“ini lho Desy lagi jatuh cinta sama si Ari hahaha” jawab Siska,
“kalian mungkin gak memahami perasaanku” ucap Desy kesal,
“ya siapa juga yang mau ngerti, maju dong makanya, jangan pandangin dari jauh aja” ucap Sundari,
“emangnya kamu gak gitu Cun?” tanya Sofi,
“ya gitu juga sih, cuma kan beda” jawab Sundari,
“yowes yo balik, udah sore, ngapain lama-lama di kampus?, kaya gak ada kerjaan” ajak Linda, dan mereka pun segera pulang ke kosan masing-masing.
Sebenarnya entah sejak kapan rasa suka itu muncul, padahal awalnya biasa saja, tapi karena keseringan merhatiin ya lebih tepatnya ngeliatin terus si Ari, perasaan suka jadi muncul di benak Desy dan sebenarnya juga nih Desy itu belum kenalan sama si Ari, dia bisa tau dan jadi suka gara-gara denger kata temen-temen dan dari pandangannya secara langsung ke Ari.
Sudah 2 semester perasaan suka itu dia pelihara, gak dia ungkapin, Desy memang sedikit pemalu dan kurang PD tentang Cinta.
Sebenernya lagi nih Desy itu sempet PDKT lewat sms, eh tapi si Ari-nya malah sewot sama temennya (Sundari, temen Desy juga) gara-gara dia gak suka smsan kalau belum kenal dan belum lihat orangnya langsung “padahal biasanya orang kenal kan dari smsan dulu” pikir Desy. Alhasil gak ada kemajuan dengan hubungan anehnya itu.
Mungkin takdir berkata lain, atau mungkin belum tiba saat yang tepat buat mereka bersama, entah kapan, tapi Desy mencoba menunggu. Sebenarnya hanya dengan sedikit keberanian, dia pasti bisa menyapa Ari, tapi dia sepertinya lebih suka hanya dengan memandang Ari dari jauh.
Suatu ketika, saat pembagian kelas semester 4 ternyata Desy mendapatkan kelas yang sama dengan Ari, jantungnya pun berdetak tak karuan, “bagaimana hari pertama nanti saat kuliah dan bagaimana selama 1 semester nanti?” pikiran Desy dilanda kekacauan.
1 bulan Desy berhasil menghindari Ari, mungkin Ari sedikit menyadari hal itu, dari nama, ya mungkin Ari ingat nama Desy.
“Desy ya? Temennya Sundari kan?” Tanya Ari,
Jantung Desy berdetak sangat kencang, ingin rasanya kabur dari situasi ini sekarang juga, tapi
“i… iya, saya Desy” jawab Desy sambil terpaksa tersenyum,
“hai aku Ari, kalau udah kenal kan enak ngobrolnya” ucap Ari sambil mengulurkan tangannya,
“halo, iya juga ya… ya udah saya pergi dulu ya, buru-buru” tanpa pikir panjang Desy langsung lari (maksudnya kabur) tanpa menyambut uluran tangan dari Ari.
Setelah kejadian itu,
“parah banget kan? mau pindah kelas aja deh” ucap Desy panik setelah menceritakan kejadian tadi kepada teman-temannya,
“lho ngawur arek iki, yo gak bisa to Des, kalau udah begitu ya hadapi!” ucap Linda,
“iya lho udah ketauan kan? Lanjutin aja” saran Siska,
“no coment deh, untung si Ari gak marah-marah ke kamu Des, udah lanjut aja” ucap Sundari,
“aku ngikut yang lain aja deh” tambah Sofi.
Keesokan harinya di kampus,
“kemarin ko klangsung pergi?” tanya Ari,
“oh iya, kemarin buru-buru Ri, maaf ya selama ini udah gangguin kamu” ucap Desy,
“iya gak apa-apa, woles ae” ucap Ari,
“itu, anu, mm… sebenernya udah lama ada yang pengen saya sampein ke kamu Ri” ucap Desy,
“eh apa ya?” tanya Ari,
“udah dari lama saya merhatiin kamu terus, gangguin kamu terus, maaf kalau jadi gak nyaman gara-gara kelakuan saya itu, terus…” ucap Desy,
“terus apa?” tanya Ari penasaran,
“buat kamu aja” ucap Desy malu,
“apanya?” tanya Ari tambah bingung,
“ha… ha… HATIKU!” jawab Desy lalu bersiap untuk lari (maksudnya kabur lagi), tapi ternyata tangan Desy kesangkut di tangan Ari (maksudnya dipegangin Ari biar gak kabur lagi),
“dengerin dulu kalau orang ngomong, jangan bilang begitu terus kabur… mm… tapi makasih ya, aku juga… hatiku buat kamu aja, mungkin kita belum saling kenal, aku juga belum bener-bener kenal kamu, tapi aku tau kamu sering perhatiin aku, soalnya pas kamu perhatiin aku, aku juga lagi merhatiin kamu!” jawab Ari sambil tersenyum malu,
“ko bisa?” betapa kagetnya Desy dengan jawaban Ari barusan, mukanya memerah seperti tomat segar, pikiran untuk kaburnya berhenti seketika itu juga,
“iya, aku juga gak tau kenapa bisa, awalnya aku agak takut sama kamu, bingung juga kenapa sering ngeliatin gitu, tapi jadinya malah bikin penasaran, aku pikir ini kesempatanku buat ungkapin semuanya, aku mau tau semuanya tentang kamu” ucap Ari,
“maksudnya kamu suka aku juga? apa yang kamu suka dari aku?” tanya Desy,
“iya… senyum kamu manis!, aku suka” jawab Ari singkat.

cinta pertama

Aku mengenalnya semenjak aku berusia 5 tahun, tapi mulainya rasa itu ada ketika aku duduk di kelas 4 SD, semenjak itu aku merasa aneh, karena usiaku juga masih terbilang kanak2. Entah apa yang aku rasa saat itu, aku tak mengerti apa yang sedang terjadi kala itu, aku seperti orang yang tak tentu arah. Saat aku sadari ternyata aku mulai suka, ya aku suka untuk yang pertama kali pada seseorang. Namun aku tak mampu melakukan apa yang ingin aku lakukan. Aku hanya mengaguminya dari kejauhan, aku hanya mampu melihat senyumnya dari sini dari tempatku duduk kala itu. Aku melihatnya tertawa dan melihat bermain bola di lapangan itu, apa lagi saat kita bermain dan kejar2an. Aku sungguh suka... Laki laki yang aku pandang terlihat tampan dengan gayanya yg khas dan aku suka itu. Matanya sangat indah, rambutnya yang agak kriting menambah getaran dalam dada ini. Huuuuh aku suka dia, benar-benar suka dia.

Rasa ini semakin hari semakin dalam. Setiap hari yang aku ingin hanya memandang wajahnya. Suatu hari aku melihat tatapan matanya, tatapan mata yang sangat sejuk. Yang mampu membuat jantung ini berdegup lebih cepat. Dan akhirnya aku mulai bisa dekat dgn dia, karena saat itu aku dukuk 1 bangku dengannya,1 minggu itu. sangat menyenangkan, aku merasa sangat bahagia.

Hingga suatu hari, apa yang aku takutkan terjadi, dia pergi. Pergi tanpa pesan terakhir. Kini, hanya ada aku dan kenangan itu. Aku hanya mampu mengingatnya, mengingat semua senyumnya dan tatapan indah itu. Aku berjalan gontai sambil meneteskan air mata, air mata kehilangan. Dia, takkan pernah tau betapa sakitnya aku saat itu, saat dia pergi dariku. Aku tak mampu berkata apapun, aku hanya menangis dalam diam, menyesali semuanya. Aku mencoba tegar, aku mencoba terus untuk menutup luka ini, luka yang kau beri. Aku mencoba bahagia dgn apa yg aku milikki saat itu. Aku mencoba bertahan dgn senyumanku.

"Yaa Allah, jaga dia selama dia jauh dari sisiku". Dan saat itu aku mulai sadar, inilah cinta pertamaku. Di dalam penantianku, ada seorang pria datang dgn membawa sejuta cinta. Aku masih ingin diam, dan diam menunggu cintaku kembali dalam pelukku. Namun kehadirannya membuat aku tertawa seperti dulu, tetapi sungguh dalam hati ini masih ada nama cinta pertamaku. Aku hanya mampu tertawa sesaat saja, setelah itu kembali menangis dalam diamku, dalam penantianku. Untuk sementara waktu, sakitku terobati oleh kehadirannya di dalam sepiku. Namun hanya sementara dan setelah itu kami berpisah.

Tahun pun telah berganti namun cintaku tak pernah kembali. Aku tetap menunggu, menunggu dalam ketidakpastian ini. Sampai suatu hari, aku tau dia sudah tak sendiri lagi, dia mempunyai seorang kekasih. Aku hancuuuur saat itu. Aku harus melihat cinta pertamaku bersama wanitanya itu. Aku menangis sejadi-jadinya :’( Aku terus menangis dalam diamku, aku tak mampu lagi tersenyum saat itu. Rasanya hatiku sangat sakit saat itu, hatiku ada 1 dan akhirnya hancur berkeping-keping. "Yaa Allah , mengapa ini terjadi padaku??" Aku menutupi rapuhnya hatiku dgn caraku sendiri. Dan aku mencoba berpaling tapi selalu saja gagal.

Akhirnya aku menemukan seorang pria, yang sangat aku harapkan bisa menggantikan dia. Namun ternyata aku salah, semua yg aku usahakan gagal. Entah apa yg aku rasakan saat itu, Aku galau... Aku kecewa... Aku harus rela DIA bersama wanitanya. Namun aku tak sekuat yang aku kira, aku berharap aku mampu namun ternyata aku tak mampu. Aku terlalu rapuh untuk itu.. Namun aku tak putus asa, aku terus menunggunya dan aku hanya menangis dalam diamku. Aku berdoa, suatu hari nanti DIA bisa mengerti rasaku ini A.

Setelah tahun berganti.. ALLAH mendengar doaku, aku kembali bisa dekat dengan cinta pertamaku itu. Ahhh, senangnya aku ini :D Lama-kelamaan aku semakin dekat dengan dia. Tak ku sangka sekarang dia membawa perempuan barunya lagi, :( untuk yang kedua kalinya hatiku benar-benar patah. Tapi ini adalah KENYATAAN. yang harus aku terima. dan 1 minggu setelah itu, aku mengundurkan diri atas penantianku, walaupun dia tak merespon atau membalas kata-kata ku, tapi aku tau, mungkin dia bisa bahagia hanya bersama perempuannya yang Dia pilih. Perjuanganku selama 9 tahun ini HANYA sia2 atau TIDAK sia2, aku pun tidak tau. yang pasti aku takan bisa untuk melupakan dia, aku akan menyimpanya di kotak bernama hati, hingga suatu saat semoga dia yang dapat membukanya lagi.

Terima kasih ya Allah :* karena engkau telah memperkenankanku mencintai seseorang .. I will be loved you, until the end of time my Boy A.

HUJAN TERAKHIR BERSAMAMU

Gadis ini mencengkram erat kepalanya. Di tengah hujan, dia masih harus mengalami perdebatan sengit antara hati dan otaknya. Dinda, begitu gadis ini disapa. Menangis di tengah hujan yang sangat deras memang efektif karena tetesan air matapun takkan terlihat. Dinda berjalan di koridor kelas dengan lesu. Bagaimana tidak, fikirannya benar-benar sedang kacau. Apalagi kalau bukan karna cinta. Tepatnya karna Denis, si pangeran berkuda putih itu. Sebenarnya Denis hanyalah pria biasa, hanya saja cinta membuat Denis terlihat tak biasa di mata Dinda. Mungkin Dinda melihat menggunakan mata hati. Mungkin.

Tak ada yang buruk dari mengenal Denis. Hanya saja Denis terlalu untuk Dinda. Terlalu baik, terlalu tampan, terlalu pintar.. Nyaris sempurna. Dulu, Dinda tidak suka pada Denis, bahkan Dinda membencinya. Tapi sekarang? Ia menyukainya. Atau mencintainya. Mungkin.
“Din, kamu baik-baik saja?” Suara itu. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga Dinda. Dan benar saja, ketika Dinda melihat siapa orang itu. Ternyata Denis.
“Aku? Aku baik-baik saja.” Jawab Dinda. Sungguh dibalik kata baik-baik saja ada kata tidak dalam keadaan baik yang tersembunyi. Perempuan. Bukankah itu salah satu keahliannya untuk menutupi perasaan mereka yang sebenarnya?
 
Seperti biasa, Dinda duduk di samping Gisha. Gisha dulunya adalah gadis yang Denis sukai. Gisha itu perempuan yang cantik, pintar, dan pandai bergaul, hampir tak ada celah pada dirinya. Tapi itu dulu, sampai Denis berkata kalau ia menyukai Dinda. Dinda mendengus geli ketika otaknya memutar memori antara Dia, Gisha dan Denis. Waktu itu, hujan sangat lebat. Dinda dan Gisha menunggu hujan itu berhenti. Gisha sibuk mengamati hujan yang deras itu, tetapi Dinda justru menikmatinya. Aroma hujan, Dinda selalu menyukai itu. Rintikan hujan mengalun seperti sebuah musik di telinganya. Dinda menikmati itu sampai dia tahu bahwa Denis memberikan jaketnya untuk Gisha. Dinda benarbenar cemburu hingga dia lepas kendali.
“Din maaf.. Aku nggak mau semua berakhir sampai di sini?”

Dinda sempat bingung dengan isi pesan singkat Denis. Kata-katanya sedikit sulit untuk dicerna oleh otaknya. Bahkan butuh waktu yang lama untuk memikirkan kata-kata Denis. Tetapi akhirnya Dinda menjawab
“Apa yang berakhir? Nggak ada yang berakhir. Semuanya akan sama seperti dulu. Maaf, tadi aku memang lagi emosi. Jangan berlebihan menanggapinya. Nothing gonna change Denis, trust me.”
Tiba-tiba Dinda tersadar dari lamunannya karena guru sudah memasuki kelas. Lagi-lagi matanya kembali menangkap sosok Denis. Denis sibuk dengan perempuan itu. Target baru mungkin. Dinda pura-pura tidak memperdulikannya. Dinda harus fokus. Ini demi mimpinya juga kebahagiaannya.

Jam tambahanpun berakhir. Semua anak-anak sibuk mengobrol sana-sini, membicarakan rencana mereka sepulang jam tambahan. Dinda sedang fokus membereskan buku-bukunya. Memastikan bahwa tak ada satupun barangnya yang tertinggal. Tapi tiba-tiba sosok itu mengusiknya, lagi.
“Tidak. Hanya ingin melihat kamu. Dinda yang fokus benar-benar lain ya.”

Dinda mengangkat sudut bibirnya ketika mendengar kata-kata Denis.
“Eh? Dinda tersenyum?”

Setelah mendengarnya, Dinda segera merubah raut wajahnya. Dinda menyesali senyumannya tadi. Harusnya ia tidak memberikan senyuman berharganya itu kepada Denis. Si pemberi harapan palsu.
“Dinda, ada yang mau aku bicarakan. Kita keluar sebentar ya”

Dinda segera keluar bersama Denis sebelum teman-temannya melihat. Ketika Denis mengajak Dinda untuk mengobrol di tempat teduh, Dinda menolaknya. Dinda beralasan kalau saat ini hanya hujan. Hujan air, dan lagipula Dinda suka hujan.
“Mau bicara apa?” tanya Dinda.
“Kamu kenapa? Akhir-akhir ini kamu menjauhiku. Kamu nggak pernah mengirimiku pesan singkat. Bahkan seperti kamu membenciku. Aku salah apa sama kamu?” jawab Denis yang kembali bertanya.
“Semuanya sudah berakhir”
“Berakhir? Maksudmu? Apa yang berakhir?”
“Kita.”

Beberapa menit kemudian Dinda meralat kata-katanya
“Maksudku bukan kita. Tapi aku dan kamu. Bukankah aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita?”
“Kamu ini bicara apa Dinda. Siapa yang bilang kalau kamu dan aku tidak akan pernah menjadi kita?”
“Takdir. Takdir memang tak pernah berkata tentang hal itu. Tapi, takdir menunjukkannya.”
“Takdir tak pernah menunjukkan itu Din” jawab Denis tegas.
“Tak pernah? Bagaimana dengan kebudayaan kita? Bukankah itu cukup menunjukkan kalau kita tidak bisa bersama? Kamu keras sedangkan aku lembut. Kamu api sedangkan aku air. Kita berbeda, bahkan jika kita bersama maka kita akan menghancurkan satu sama lain.”

Hujan semakin deras. Sebanyak air hujan itulah air mata Dinda yang ditahannya. Mungkin untuk terakhir kalinya, Dinda ingin Denis mengingat senyumnya, bukan tangisnya.
“Kenapa kamu menginginkan ini berakhir? Bukankah terlalu awal untuk mengakhirinya?”
“Kenapa kamu bertanya kepadaku? Kamu yang mengakhirinya. Bukan aku.”
“Aku? Aku tak pernah mengatakan ingin mengakhiri semuanya.”
“Sekali lagi, mungkin lidahmu terlalu kelu untuk mengatakan bahwa semua ini telah berakhir. Tetapi kamu berhasil menunjukkan. Kamu menunjukkan tanda-tanda bahwa kamu ingin mengakhirinya.”
“Din.. Dulu aku kan pernah bilang kalau aku nggak mau —” ucapan Denis terpotong karna Dinda segera menjawab
“Itu dulu Sekarang, tanda-tandanya sudah jelas bahwa kamu ingin mengakhirinya.”

Hening. Denis tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Tak pernah terfikirkan oleh Denis kalau Dinda akan mengatakan hal-hal seperti ini. Denis tak tahu apa yang membuat Dinda berubah seperti ini.
“Lagipula, kamu sekarang sudah punya pacar, kan?” kata Dinda yang sepertinya ingin menyindir Denis.
“Pasti kamu bingung aku tahu dari mana kalau kamu sudah punya pacar.” sambung Dinda sambil memaksakan senyum pada wajahnya.
“Pastinya. Kamu ini jangan-jangan penguntit aku ya.” Denis benar-benar tertawa lepas dengan jawabannya tadi. Bahkan Dinda ikut terkekeh dengan jawaban Denis.
Tiba-tiba Dinda berhenti tertawa. Dia memperhatikan Denis yang masih tertawa lepas. Mungkin ini terakhir kalinya Dinda melihat Denis tertawa karnanya dan bersamanya. Dinda menatap wajah Denis lekat-lekat. Ia mencoba mengingat setiap lekuk wajah Denis. Jika Tuhan tak mengizinkannya untuk memiliki Denis, maka biarkanlah Dinda memiliki kenangan tentang Denis. Tetapi Dinda tak ingin mengingat kenangan ini setiap saat. Biarkanlah hujan menyimpan kenangan antara Dinda dan Denis.

Tanpa sadar Dinda menitihkan setetes air matanya. Dia berbalik membelakangi Denis. Pundaknya bergetar hebat. Tangisannya benar-benar tak bisa ditahan lagi. Suara tangisnya pecah diantara lebatnya hujan. Denis segera menghentikan tawanya. Dia menatap punggung itu. Punggung gadis yang dulu sempat menjadi tempat pertama saat sedih maupun senang. Denis tahu betapa rapuhnya gadis ini.

Dinda segera menghapus air matanya. Mengatur suaranya agar tak bergetar saat berbicara dengan Denis nantinya. Dinda membalikkan tubuhnya dan tersenyum kaku saat melihat Denis. Denis membalas senyuman Dinda dengan tulus. Dinda tak tahu harus bagaimana atas sesuatu yang telah berakhir. Yang terbesit di benaknya adalah betapa bodohnya dia. Dinda juga tahu bahwa hujan akan membawanya pada kenangan antara dia dan Denis, tetapi pada saat hujan berhenti kenangan itu sedikit demi sedikit akan menghilang.

Dinda beranjak dari duduknya. Begitu juga dengan Denis.
“Sepertinya aku harus pulang. Hujannya semakin deras. Dan kamu juga harus pulang.” kata Dinda.
“Aku harap setelah hujan ini akan ada pelangi. Pelangi yang menghubungkan aku dengan pasanganku, dan kamu dengan pasanganmu.” sambungnya.
Dinda pergi meninggalkan Denis lebih dahulu. Dinda kini sadar bahwa tak selamanya pangeran baik untuknya. Dan hujan? Terimakasih untuk hujan karena bersedia menjadi pengingat kenangan yang Dinda miliki.

TAKDIR CINTA DI PESANTREN

Di sebuah kota yang ramai tinggallah seorang pemuda sebut saja dia Fabiano atau bian. Dia tinggal bersama kedua orang tuanya. Namun perilaku dan tingkah laku bian membuat orang tuanya sangat kecewa karena Bian selalu berfoya-foya dengan uang yang mereka berikan seperti mabuk-mabukan, judi, maen prempuan dan masih banyak lagi yang ia lakukan.

Sampai pada suatu hari orang tua Bian berniat untuk memasukan dia ke sebuah pondok pesantren, namun Bian menolaknya dan orang tuanya tetap memaksa. Setelah cukup lama Bian berfikir akhirna dia mau untuk masuk ke pondok pesantren.
Ke esokan harinya Bian berangkat ke pondok pesantren yang di inginkan ayahnya yaitu pondok pesantren TEGAL JADI. Sebelum Bian berangkat ibunya berkata:
“Bian” pangilan ibunya    
“iza ma” jawab bian 
Lalu ibunya berkata 
“hati-hati ya nak disana jaga dirimu baek-baek dan suatu saat nanti ajari kami ilmu yang telah engkau miliki “(sambil meneteskan air mata )
Bian menjawab:
“iza ma Bian sayang papa mama” (dengan memeluk ke dua orang tuanya)
Kemudian Bian berangkat dengan naik mobil pribadi ayahnya.
Sesampai di sana Bian menemui pengasuh pondok pesantren yaitu k.h.Jalaludin akbar untuk meminta izin agar dia di terima dalam pondok tersebut. Kemudian Bian di terima dan di antar oleh seorang santri wan yang bernama Rahmat. Waktu dalam perjalanan Bian meminta pertolongan pada Rahmat 
“akhy apakah anda bisa membantuku?” Tanya Bian 
“ya, selagi ana mampu , ana akan membantumu. Memang apa yang bisa ana Bantu?”sangah Rahmat
Lalu bian berkata: “tolong ajari aqu sholat,wudhu,dan baca al-qur’an dengan benar” 
Dan rahmat menjawab : “ya ana akan Bantu”
Kemudian Bian di ajari Rahmat yang ia pinta. Setelah beberapa hari lamanya Bian sudah bisa melakukan itu semua.
Dan pada suatu ketika saat santri wan dan santri wati berangkat untuk mengaji tiba-tiba Bian melihat seorang gadis yang amat sangat cantik dan baik ia bernama Fatimah dan pada saat itu pula fatimah membalas tatapan Bian dengan sebuah lirikan manis dari matanya.
Setelah lama mereka kenal kemudian timbul rasa cinta pada hati mereka. Tetapi sayang Fatimah sudah di jodohkan oleh abahnya dan kebetulan abah Fatimah adalah pemilik pondok pesantren itu sendiri. Namun Bian tetap mengejar Fatimah.
Seiring bejalanya waktu hanya bisa berkomunikasi melalui melalui sebuah surat karena di pondok pesantren terdapat larangan bahwa seorang santri wan dan wati tidak boleh berduaan apa lagi di tempat tertutup. Kemudian saat fatimah mendapat surat dari Bian, Rahmat pun melihat Fatimah dan mengikutinya. Fatimah terlihat bahagia saat mendapat surat itu sampai tak sadar dia meninggalkan suratnya. Kemudian Rahmat menghampiri surat dan membacanya. Setelah itu Rahmat mengetahui semua bahwa fatimah dan Bian saling cinta lalu Rahmat menemui Bian dan bertanya:
“apakah kamu suka dg fatimah”tak sungkan lagi Bian menjawab 
“ya saya sangat cinta pada Fatimah  “
Dg ke iklasan Rahmat berkata 
“pulanglah kamu temui ayah ibumu mintalah do’a restu lalu lamar fatimah”
Seketika itu Bian bergegas untuk pulang dengan naik sebuah bus kota. Di sana lah bian bertemu dengan gadis yang bernama Monica dia gadis cantik dan baik pula tetapi dia seorang non muslim. Dan saat itu Monica bertanya pada Bian:
”Apakah kamu seorang muslim “ Tanya monica 
Lalu bian menjawab  ; 
“ya saya muslim” 
Setelah berbincang-bincang lama dan bertanya tentang agama islam mnica memiliki fikiran untuk menjadi seorang muslim dan meminta bian untuk membantu keislamannya. Setelah iu bian kembali ke pondok dan mengundur niatnya untuk pulang.
Saat tiba disekolah Bian mengenalkan monica dg pengasuh pondok sekalian meminta mengislamkannya lalu menerima dia di pondok tersebut.
Setelah sekian lama monica di pondok tak disangka  setelah selesai monica mandi ia melihat seekor tikus dan monica berteriak sangat kencang. Kebetulan Bian lewat depan kamar monica dan mendengar tteriakan itu lalu bian lari dan masuk ke kamar monica, tiba-tiba memeluk Bian dan saat itu Rahmat melihatnya dan mengadukan pada pengasuh pondok.karena Bian telah melangar peraturan yang ada dg bijaksana pengasuh menikahkan Bian dg monica. Dan tidak lama kemudian Fatimah menikah dg Rahmat sesuai keinginan abahnya.

Cinta dan Takdir

“Jay, lihat gadis itu!” Jill menunjuk ke arah seorang gadis berambut pendek cantik yang baru saja ditinggal mobilnya. “Aku ingin punya sahabat seperti itu. Dan mungkin ia bisa aku manfaatkan. Kau tau maksudku, kan?”
“Dengar, Jill, aku tak akan membiarkanmu memanfaatkan orang seperti itu. Lagipula Mom bilang—”
“Terserahlah,” Jill memotong perkataan Jay dan menariknya ke arah si gadis, “aku hanya ingin berteman. Aku janji. Hey, gadis cantik!” Gadis itu memutar tubuhnya tepat saat Jill menepuk bahunya. Ia memperlihatkan wajahnya yang secantik Dewi Yunani.
“Aku Jilldon. Siapa nama kamu?” Jill menyodorkan tangannya dan senyum selebar yang ia bisa.
“Aku Sam,” gadis itu — Sam — menyambut tangan Jill. Ia lalu melirik ke arah Jay, “kamu saudaranya, ya? Kalian mirip.” Jay merasakan wajahnya memerah. Ia tak pernah melihat gadis secantik Sam. Sam mengulurkan tangan ke arah Jay. “Siapa nama kamu?”
“Well, aku saudara kembar Jill. Aku Jaydon.” Jay menyambut tangan Sam. Halus sekali. Rasanya tak ada gadis selain Jill yang tangannya sehalus dia. Ia menggelengkan kepala dan melepaskan tangan Sam. Sayang sekali. “Anak baru?”
“Iya, pindahan dari Sydney.” Sam mengembangkan senyumnya, lalu melihat sekeliling. Ia kebingungan dengan seluruh mata yang kini tertuju padanya. “Apa ada sesuatu di wajahku? Kenapa orang-orang melihatku seperti itu?”
Jill terkekeh. “Tidak ada apapun, mereka hanya kebingungan kenapa ada seorang bidadari yang terjatuh ke sekolah mereka,” ia lalu menggandeng Sam dan Jay, setengah menyeret mereka, “mari kuantar kau ke kelas.”
Sam tidak menyadari. Ini adalah awal sebuah keabadian yang ditawarkan oleh Jill. Dan dia menerima dengan tangan terbuka lebar. Keabadian yang menyakitkan. Keabadian yang menuntut untuk menyakiti dan membunuh.

Sesampainya Jill dan Jay di rumah, mereka langsung membanting tubuh mereka ke sofa. Jay menikmati teh yang sudah disediakan Mrs. Oliver, asisten rumah tangga di rumah keluarga Tomlin. Yang Mrs. Oliver tau, Jill tidak suka beberapa macam makanan. Ia hanya tahu itu. Ia tidak tahu bahwa Jill memang tidak suka ‘semua’ makanan manusia.
“Jill, sebaiknya kamu menjauhi Sam.”
Jill melotot. Ia sangat mengerti maksud Jay. Tapi biasanya Jay tidak pernah peduli. Jay hanya melakukan apa yang almarhum Mom suruh — memberi aku makan dan menjagaku. Selama ini ia sudah melakukan hal-hal itu dengan sangat baik. “Apa maksudmu?”
“Tak ada maksud dibalik itu,” Jay menyesap teh-nya, “aku hanya meminta kali ini, jangan sakiti gadis itu.”
Jill mengernyitkan dahi. “Kamu jatuh cinta dengan Sam?”
“Ya.” Jay menjawab terang-terangan. Jay tidak pernah berbohong pada Jill, begitu juga sebaliknya. Mereka bahkan tidak pernah basa-basi pada satu sama lain. Mereka selalu punya sesuatu untuk dibicarakan. “Sadarkah kini kau hampir menjadi seperti Emily dan Treya?”
Jill kembali membuka memori otaknya. Mendengar nama Emily dan Treya membuatnya ingin muntah. Jill benci mereka. Mereka yang mengubah Jill menjadi seperti sekarang ini — seperti monster. Walaupun Jay berkata bahwa Jill semakin cantik, mereka tetap harus bertanggung jawab atas perubahan ini. Tidak, bukan mereka, tepatnya hanya Treya. Tapi kini Jill bisa bernapas lega karena Treya dan Emily sudah pergi entah kemana.
“Jangan sebut dia, Jay. Kau tau aku benci mereka.” Jill mengerang. Iris matanya yang berwarna hitam perlahan berubah warna menjadi merah. “Kemarikan jarimu, Jay.” Dengan sigap, Jay pindah tempat duduk ke sebelah Jill, dan menyodorkan jarinya. Jill langsung menggenggam jarinya dengan kencang, menggigitnya, lalu menghisap darahnya.
Hanya beberapa tetes darah manusia, dapat membuatku kenyang. Dapat menggantikan darah sepuluh kelinci. Pikir Jill, lalu melepaskan tangan Jay. Jay kini terlihat sedikit pucat. Jill tersenyum miris, lalu mengelus tangan Jay.
“Aku menyayangimu, Jay. Aku tak bisa terus-terusan melihatmu berwajah pucat setiap hari,” ia menghela napas, Jay membalas senyumannya, “aku mau saja berburu. Tapi kau tau sendiri, tak ada cukup darah kelinci di kota ini. Pada akhirnya, aku akan mengurung diri di kamar. Mengerang dan mengutuk diri sendiri. Aku akan ada di luar kendali, lalu—”
“Diamlah, Jill. Aku senang, aku bisa bermanfaat untukmu. Aku menyayangimu. DIsamping itu, aku juga menjalankan perintah Mom.” Jay memeluk Jill. Mencoba menghapus semua rasa bersalahnya. Tapi walau bagaimanapun, Jill tetap merasa bersalah. Itu yang membuatnya ingin memanfaatkan Sam. Menjadikannya sahabat yang bisa menjaga rahasia, dan menguras darahnya setiap hari.
“Maaf, tapi aku akan tetap melakukan rencanaku terhadap Sam.” Jill melepaskan pelukan Jay. Tampak jelas kalau Jay kecewa. Tapi Jay tidak pernah menuntut lebih dari Jill walaupun Jay amat sangat kecewa.
“Baiklah,” Jay menghela napas. Mencari kata-kata yang pas untuk dikatakan agar Jill tidak tersinggung, lalu merengkuh wajah Jill dengan kedua tangannya, “tapi usahakan agar tidak merubahnya. Oke?”
“Ya.” Jill pergi ke kamar, meninggalkan Jay sendirian berdoa agar Jill tidak merubah siapapun.
Jay tidak mengerti bahwa selama ini Jill kesepian. Setiap malam, Jill terbaring dengan mata terbuka, berharap ada seseorang di luar sana yang seperti dirinya. Selain Treya, tentunya. Ia mengimpikan hidup normal. Bertambah tua dan menjalin cinta. Yang pasti, tidak abadi.
Jill berubah ketika ia dan Jay berumur enam belas dan sekarang Jay berumur delapan belas. Sementara Jill akan terus berada dalam tubuh – enam – belas – tahun miliknya. Mom bilang, mereka tidak boleh berkata kalau mereka kembar ketika Jay berumur dua puluh tahun. Perbedaannya akan terlihat jelas, orang-orang juga akan curiga.
Mom juga menasehati Jill untuk tidak jatuh cinta, ataupun mempunyai sahabat, agar ‘kedok’ nya tidak ketahuan. Mom tidak pernah mengajari untuk mengubah seseorang yang Jill cintai agar Jill bisa hidup abadi bersamanya. Mom bilang itu sesuatu yang jahat.
Kini, setelah satu tahun kepergian Mom, dan untuk kesekian kalinya, Jill merasa kesepian. Ia butuh nasihat Mom tentang apa yang harus dilakukannya dengan Sam. Ia mulai meringkuk. Menyetel beberapa lagu Bruno Mars keras-keras agar Jay tidak mendengar tangisannya. Ia lalu menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, dan membenamkan kukunya di punggungnya. Ia tidak peduli dengan sakit pada punggungnya. Sesuatu yang ada di dalam tubuhnya lebih menyakitkan. Hatinya, sakit.
Ia tak tahan menghabiskan sisa malamnya yang panjang di kamar seperti biasanya, jadi ia memilih keluar, mencari beberapa kelinci yang bisa dikuras habis.

Berbulan-bulan mereka habiskan waktu di sekolah. Jill dan Jay kini menginjak kelas dua belas. Begitu juga Sam. Mereka bertiga kini sangat lengket. Hampir setiap malam mereka habiskan bersama—menginap di rumah si kembar. Jay selalu menyediakan kamar tamu untuk Sam, dan menegaskan Jill untuk tidak mengajaknya tidur bersama. Jay takut Jill akan melakukan sesuatu yang diluar kendali.
Setelah Jill memastikan bahwa Sam sudah cukup dipercaya, Jill mengatakan kalau ia bukan seorang gadis biasa. Ia monster. Sam berkata, “apapun kamu, aku akan tetap menjadi sahabatmu. Karena kita sudah begitu dari sebelum aku tau kamu itu ‘apa’, dan akan tetap begitu selamanya.” Setelah itu, Sam tersenyum dengan sangat tulus. Dan Sam menawarkan darah-nya untuk menjadi makanan Jill setiap hari. Jill mengiyakan dengan senang hati.
Tapi kini Jill sadar. Ia kini mengingkari perkataan Mom. Tak seharusnya ia menerima persahabatan Sam. Jill pun sekarang menyadari, bahwa ia memang ingin bersahabat dengan Sam. Tanpa imbalan apapun, tanpa darah, tanpa fisik sempurna atau apapun itu. Jill mencintai Sam sebagai sahabat. Begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, Jill tidak pernah meminta setetespun darah Sam.
Tapi, kita memang tidak bisa mengakali takdir. Apa yang ditakutkan Jay, kini terjadi. Apa yang selama ini menjadi mimpi buruk mereka, terpampang nyata di depan mereka. Hal itu dimulai ketika Jill meminta Sam untuk tidur bersamanya. Ia bilang, mereka bisa melakukan midnight gossip, movie marathon, dan sebagainya. Sam tertarik, dan ikut memohon pada Jay.
Jay bisa saja tidak mengabulkan permohonan salah satu permintaan dari kedua gadis itu. Tapi, keduanya adalah gadis yang dicintai Jay dan permintaan mereka hanya satu. Apa susahnya untuk mengabulkan permintaan sederhana itu? Lagipula Jill tidak pernah meminum darah Sam. Mereka benar-benar bersahabat. Pikir Jay. Maka, Jay mengabulkan permintaan mereka.
“Akhirnya ya, setelah sekian lama,” ujar Sam. Ia lalu menyetel lagu-lagu dari Bruno Mars yang ada di meja Jill, “suka Bruno Mars juga?”
Jill hanya mengangguk senang. Ia lalu membaringkan tubuhnya di kasur. Sam bernyanyi-nyanyi kecil sambil mengganti bajunya dengan piyama. “Apa yang ditakutkan Jay kalau aku tidur denganmu? Ia takut kamu mengubahku?” Sam melempar baju ke tasnya. “Aku tidak takut. Sepertinya menjadi vampire itu seru. Kau tau, hidup abadi.”
Jill merasakan matanya memanas. Air mata menggebu-gebu ingin keluar. Sam tidak tahu apa yang ia katakan. Ia bodoh. Sam bodoh. “Kau tidak bisa berkata begitu. Menjadi makhluk sepertiku mengerikan. Tak ada serunya hidup abadi jika kau tau orang-orang yang kau sayangi akan meninggalkanmu,” Jill memberi jeda pada perkataannya. Ia mulai merasakan pembuluh darahnya terbakar. Perutnya terasa kosong. Ususnya seperti diperas habis-habisan. Iris matanya berubah menjadi merah terang. Ia mengerang, dan menerjang Sam.
Jay sedang mencoba tidur ketika ia mendengar jeritan Sam. Mrs. Oliver sudah pulang, dan rumahnya jauh dari tetangga. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. Paling tidak, tak ada orang awam yang tahu. Tapi tetap saja, Jay tidak menginginkan ini.
Jay berlari secepat mungkin ke kamar Jill. Ia mendobrak, dan melihat Sam mencoba mendorong Jill. Jay membantunya dengan cara menarik dan langsung mengarahkan pergelangannya ke mulut Jill. Bodohnya aku. Aku lupa memberi makan Jill.
Jay melihat dari balik Jill, Sam sedang mengejang dan jelas, kulitnya yang berwarna kecoklatan kini berubah putih pucat. Bibirnya memerah, begitu juga matanya. Jill pun sadar dan berteriak histeris. Ia menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk Sam dan mengucapkan “maaf” berkali-kali. Tapi percuma, Sam sudah berubah. Sekarang pun, ia tak akan pernah mendengar permohonan maaf Jill. Ia lapar.
Jay menarik Jill yang terus-terusan memeluk Sam, lalu memberikan pergelangannya yang lain ke mulut Sam.
6 TAHUN KEMUDIAN.
Jill mengarahkan mobilnya ke jalan menuju kota tempat tinggalnya yang baru. Kini, ia harus hidup berpindah-pindah. Ia tak ingin dicurigai warga kota karena keadaannya yang tidak pernah bertambah tua. Ia hanya tinggal di sebuah kota selama tiga tahun, lalu pergi.
Sebelum keputusannya untuk berpindah-pindah, ia mampir ke makam Mom, Jay dan Sam. Ya, Jay dan Sam sudah meninggalkan Jill. Sekitar tiga bulan setelah perubahan Sam, ia dan Jay resmi berpacaran. Cinta mereka berlebihan. Hal yang menurut Jill amat sangat tidak baik. Atau mungkin ini hanya perasaan iri Jill karena takut tergantikan? Entahlah, Jill sendiri tidak tahu.
Tepat ketika mereka mengadakan anniversary yang pertama, Jay kecelakaan ketika sedang di jalan menuju rumah Sam. Jay koma selama berminggu-minggu. Sam ingin untuk mengubah Jay menjadi seperti dirinya, agar ia tidak kehilangan Jay. Tapi tentu saja, Jill melarang. “Kita tidak bisa mengubah takdir, Sam.”
“Bisa! Aku akan mengubahnya sekarang juga!” Sam berteriak.
“Kita memang bisa. Tapi tolong pikirkan apa yang akan terjadi. Kau pikir Jay akan senang dirubah seperti itu? Selama bertahun-tahun aku hidup dengannya, aku tidak pernah berpikir untuk merubahnya. Kau tau kenapa? Aku menyayanginya. Aku tak ingin dia merasakan lapar yang menyiksa. Tak bisakah kau mengerti itu?” Jill menghela napas, lalu melanjutkan, “Terkadang, apa yang menurutmu baik belum tentu baik di mata orang lain. Dan terutama, belum tentu yang terbaik di mata orang tersebut.”
Setelah itu, Sam menahan diri untuk tidak merubah Jay. Tapi ternyata, Jay memang tidak bisa tertolong. Jay meninggalkanku. Meninggalkan kami.
Sam tidak bisa menerima semua kenyataan berat ini. Kini ia mengerti bahwa hidup abadi itu menyesakkan. Jill berkata padanya, “kau masih punya aku.” Tapi ia hanya tersenyum, dan pergi seharian.
Sampai akhirnya, Jill mendengar kabar kalau Sam meninggal di hutan. Ia mematahkan kepalanya sendiri. Jasadnya ditemukan di hutan Trezlewood.
Jill membawa tiga bunga mawar. Ia mengunjungi makam Mom. Jill menaruh setangkai bunga. Matanya mulai berair, dan ia tidak mencoba untuk menahannya. “Pada akhirnya aku sendiri, Mom. Mungkin aku memang tidak ditakdirkan untuk memiliki siapapun. Pertama Mom, ibuku yang paling berharga. Lalu saudara yang kucintai, Jay. Lalu Sam,” Jill mengusap airmatanya. Tapi airmata itu tetap saja keluar, “siapa lagi Mom? Siapa lagi yang akan diambil oleh waktu dan takdir? Mengapa takdirku menjadi monster?”
Jill berdiri. Mengusap matanya. Airmatanya tidak mengalir lagi kini. Ia meninggalkan makam Mom, dan pergi menuju makam Jay dan Sam. Makam mereka bersebelahan. Jill tahu mereka menginginkan ini.
Ia menaruh setangkai mawar di masing-masing makam. Ia tersenyum. “Semoga kalian tenang disana. Aku mencintai kalian. Sangat. Sampai jumpa, dan maafkan aku.”
Jill kembali ke mobil. Riasannya sudah luntur oleh airmata. Tapi kini ia sadar, airmata tak akan menyelesaikan masalah. Melegakan, tapi tidak selamanya. Cara menyelesaikan masalah adalah dengan melaluinya. Jill akan melalui ini. Ia tak akan menyerah seperti Sam. Ia tak akan lagi mengubah orang lain seperti apa yang dilakukan Treya dan dirinya dulu. Jika ia tak punya makanan, ia akan mengurung dirinya di kamar sampai mati. Ia tak akan menyakiti manusia lainnya. Jill akan menjalani segalanya sendiri. Karena dari awal takdirnya adalah untuk menjadi sendirian di dunia yang luas ini.

Cinta Dalam Takdir-Nya

“Aisyah..” panggil seseorang yang suranya sudah tak asing lagi bagiku. Akupun menoleh ke belakang dengan senyuman hangat yang ku persembahkan hanya untuknya.
“Kamu kapan kembali lagi kesini?” tanya lelaki itu, Fadhil. Ia menatapku dengan sorot mata penuh pengharapan. Tetapi langsung ku tepis pandangan itu dengan mengucap istigfar. Aku tidak mau menambah catatan amal keburukanku hanya karena menatap yang bukan mukhrimku.
“Hei, aisyah.” ucapnya lagi, menyadarkan lamunanku.
“Oh ehm.. Aku nggak tau Fad, mungkin aku nggak balik lagi kesini. Memangnya kenapa?” jawabku gugup, lalu memalingkan wajahku ke arah anak kecil yang sedang asyik bermain bola
Sekilas kulihat raut wajah Fadhil yang berubah menjadi murung. Aku jadi kasihan melihatnya, dan mencoba menanyakan sesuatu padanya, “Fadhil, apa kamu sedang ada masalah?” tanyaku.
Fadhil tampak diam membisu. Pandangannya terlihat kosong. Tak lama, ia menghela napas berat. “Aisyah, aku mencintaimu. Dan masalah yang akan kuhadapi, aku harus kehilanganmu. Entah seberapa lama atau mungkin selamanya.” ucapnya gemetar seraya menitikkan beberapa air mata yang buru-buru dihapusnya. Mungkin ia tidak mau terlihat sebagai lelaki cengeng dihadapanku. Karena selama ini, ia selalu berpenampilan rapi, santun dan juga sangat menjaga lisannya ketika berbicara padaku.
Tapi entah mengapa kata-katanya sangat menyentuh. Padahal sudah berulang kali ia menyatakan cintanya padaku, namun baru kali ini kata-katanya mampu mengetuk lubuk hatiku. Ya! rasanya telah tak terhitung berapa kali ia mengucap kata cinta untukku. Namun selalu kutepis. Aku selalu mengatakan untuk konsisten tidak ingin berpacaran. Selain melanggar hukum agama, pacaran juga pasti banyak menghabiskan uang. Sedangkan aku ingin lebih fokus untuk menjalani masa SMA-ku supaya bisa meraih beasiswa di perguruan tinggi. Dan aku juga harus menyisihkan uangku untuk keperluan masuk ke perguruan tinggi itu.
Walaupun aku juga memiliki rasa lebih dengannya. Tapi, tak apalah aku hanya ingin membuktikan bahwa imanku lebih kuat daripada nafsu yang menyeringai.
Suasana hening sesaat sampai Fadhil menepis keheningan ini.
“Tapi Aisyah, jika ini memang cita-citamu. Kejarlah! kau lebih pantas meraih cita-cita daripada harus mengorbankan cinta.” Lanjutnya menghentakanku.
Seakan kata-katanya berubah menjadi siraman rohani yang begitu mudah masuk kedalam sanubari. Jarang sekali ia berucap bagai malaikat seperti ini. Atau mungkin memang aku yang belum terlalu mengenalnya.
Kutengadahkan pandangaku langit, mencari sisa-sisa cahaya senja yang masih menyelimuti langit sore ini. Kicauan burung pun mulai bersahut-sahutan menyambut datangnya petang. Sungguh indah ciptaanmu ini, ya Allah. Sama indahnya seperti kau ciptakan manusia yang hidup berpasangan.
”Fadhil, setiap orang yang mempunyai cita-cita pasti orang tersebut ingin mewujudkannya. Tidak ada satu pun orang yang membiarkan cita-citanya terhapus oleh ombak dan terbawa arus lautan. Aku yakin kamu pun begitu. Dan bilamana Allah telah mentakdirkan kita untuk berjodoh, pasti suatu saat nanti kita akan dipertemukan kembali oleh-Nya. Percayalah fadhil.” ucapku mengakhiri perbincangan yang terjadi sekitar 3 tahun lalu. Ya! aku masih ingat, bahkan setiap detail gerakannya pun masih terlukis indah di memoriku. Senyumannya seakan tak pernah terhapus terakan oleh waktu. Aku merinduinya. Ya, aku merinduinya.
Petang mulai datang menyambar. Semilir angin yang sudah mulai dingin terasa semakin menusuk kulitku. Entah mengapa, petang selalu melukiskan keceriaan yang diliputi kesedihan. Sedih karena sang raja siang telah pergi bersama cahaya indahnya dan senang karena ‘kan datang malam yang dihiasi kelap-kelip cahaya bintang dan bulan yang selalu menjadi primadona malam. Dan mungkin karena petang mempunyai kenangan tersendiri bagiku.
Tak lama, terdengar suara adzan maghrib yang begitu lembut bergetar ditelingaku. Dengan sigap ku alihkan pandanganku dari misteri petang dan ku percepat langkahku untuk mengambil air wudhu yang selalu menyengarkan jiwa.
Kubentangkan sajadah kearah kiblat-Nya dan memulai sholat Maghrib ini dengan penuh kekhusyukan, demi mengharap ridho dan rahmat-Nya. Hatiku terasa lebih damai daripada sebelumnya, sungguh rahmat yang luar biasa telah kurasakan. Kini, kuangkat kedua tanganku dengan penuh pengharapan.
“Ya Allah.. Terimakasih atas rahmat dan kasih sayang Mu yang telah kau curah limpahkan kepada hambamu ini. Ya Robb, engkaulah Dzat yang maha mengetahui segalanya. Engkau pun tau, siapakah imam yang akan memimpin keluarga hamba nanti. Apakah ia ya Robb? Yang selalu datang menyusup melewati rongga-rongga kesepian di hati ini? Aku hanya mampu berharap. Namun jangan biarkan cinta ini tumbuh terlalu dalam padanya. Tapi sesungguhnya engkaulah yang maha tau siapa yang terbaik untuk hamba. Siapapun ia, jagalah dia selalu. Sempurnakanlah akhlaknya, agar bisa menuntun hamba menuju ke surga-Mu nanti. Aamiin”
Kutapakkan kaki di atas jalan aspal yang telah di jemur seharian oleh terik matahari. Menyusuri liku jalan yang penuh kebisingan dari suara kendaraan yang sedang berlalu lalang.
Semilir angin sejuk menemaniku yang sedang duduk terpaku bersender di bawah pohon mahoni. Ya! Terpaku dalam kesendirian yang semakin menyesakkan dada. Langsung ku ambil buku diary yang tersimpan rapi di tas ku. Dan kurangkai kata-kata rindu, rindu akan sosok lelaki yang kan menjadi imamku kelak. Ingin cepat rasanya bertemu dengannya. Ya Allah sabarkanlah hati hambamu ini. Hamba yakin kau pasti punya cara terbaik untuk mempertemukan hamba dengannya.
Tak lama, ku tutup buku diary itu, kupandangi langit malam yang tertabur bintang dengan cahaya kelap-kelipnya. Aku terenyuh memandangnya. Tanpa ku sadari, sosok lelaki yang sepertinya tak asing lagi bagiku sudah duduk disampingku. Entah sejak kapan ia berada disitu. Apa ia mendengar curhatan hatiku pada sang Khalik? Apakah ia mengetahui isi hatiku? Ah sudahlah, lagipula ia tak ada urusan denganku. Tapi, siapakah ia? Sepertinya aku sangat mengenalinya.
Aku masih mencoba mengingat wajahnya sambil terus memperhatikan ia yang sedari tadi diam membisu, menatap lekat layar handphone yang ia genggam erat. Ingin rasanya kusapa ia yang masih terpaku. Tapi nampaknya nyali ini lebih kecil daripada inginku. “a..a” Payah! Kenapa lidahku menjadi kelu? Mulutku seperti terkunci oleh gembok yang begitu kuat. Entah kenapa detak jantungku berubah, berdetak lebih kencang daripada sebelumnya. Ternyata yang berada disampingku sejak tadi, ialah Fadhil. Oh! Sosok yang tak pernah ku fikir akan kujumpai lagi, sosok yang selama ini ku rindukan, sosok yang selama ini ku impikan menjadi imam dalam keluargaku. Aku tak percaya, dapat bertemu lagi dengannya.
“Aisyah.”
“Fadhil.”
“Aisyah, apa betul ini kau?”
“Ya ini aku, Aisyah. Temanmu dulu.”
“Aisyah, aku tak menyangka dapat bertemu kamu lagi disini.” ucap Fadhil dengan mimik yang hampir sama ketika aku masih berada di Bandung, satu pondok pesantren dengannya.
“Aku juga Fadhil. Ini terasa seperti mimpi.” Balasku. ‘mimpi yang menjadi nyata’ lanjutku dalam hati
Aku dan Fadhil masih meneruskan perbincangan itu. Namun, malam lebih cepat datang. Aku mengakhiri perbincangan itu, takut nanti akan menjadi fitnah jika sudah larut malam masih berbincang berdua dan kami pun berjanji besok akan bertemu kembali di taman ini.

Aku tak akan lupa janji itu. Tapi, mengapa Fadhil belum juga datang? Apa ia lupa? Padahal aku sudah menunggu 1 jam lamanya. Tidak biasanya Fadhil seperti ini, telat datang di suatu perjanjian. Dengan hati yang begitu kecewa, akhirnya aku pun meninggalkan taman itu. karena sebentar lagi adzan Maghrib akan berkumandang, memenuhi isi ruang perut bumi ini.
Sebelum aku melangkah lebih jauh, aku sempatkan untuk menengok ke belakang siapa tau Fadhil telah datang disana. Tapi sewaktu aku melempar pandangan ku ke arah tempat duduk di taman sana, tak ada seorang pun. Bahkan orang yang berlalu lalang pun tak ada. Taman itu tampak kosong. Seperti tempat mati yang tidak berpenghuni.
Dan akhirnya aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti tadi. Sambil mencoba menghilangkan pikiran negatif yang semakin menyerang akal sehatku.

“Maaf Aisyah, kemarin aku nggak bisa datang. Aku benar-benar ada urusan penting, jadi tidak sempat mengabari mu. Apa kamu marah padaku?“
Aku hanya berdehum pelan sambil memampang senyum dihadapannya. Sebetulnya aku begitu kecewa atas kejadian kemarin. Tapi tak apalah, aku hanya ingin mengambil hikmah dari setiap kejadian.
“Oh iya Aisyah, sebenarnya ada suatu hal yang aku mau katakan padamu.” ucap Fadhil dengan nada yang sedikit menaik dan memandang kosong batu-batuan yang tersusun rapi di sisi kiri taman ini.
“Apa itu?” tanyaku cepat
“Lusa, aku akan melangsungkan akad nikah.” jawab Fadhil datar.
Aku lansung merunduk lemah setelah mendengar itu, seolah tak percaya akan kalimat yang baru ia ucap. Mimpi-mimpiku seakan hancur seketika. Sepenggal asa yang kupunya juga perlahan menjauhi harapku. Aku tidak mengerti, mengapa takdri harus berkata seperti ini. Sungguh berbanding terbalik dengan semua mimpi-mimpi yang telah ku ukir sempurna.
Tapi anehnya, aku sama sekali tak melihat wajah bahagianya yang biasa terpampang jika setiap orang akan melakukan suatu upacara yang sangat suci sehidup semati. Ya, pernikahan. Entah ini hanya pikirku atau memang benar adanya.
“Selamat ya Fadhil.” Ucapku begitu berat tanpa sedikitpun memandangnya.
“Kenapa kamu mengucapkan selamat padaku?” tanya Fadhil yang sungguh aku tak mengerti apa maksud dari pertanyaan itu.
“Maksudnya?”
“Iya. Bukankah kamu memiliki rasa lebih denganku? Aku pun begitu, Aisyah. Aku benar-benar tidak tau, mengapa harus perjodohan ini yang menjadi pemisah cinta kita.” Fadhil berkata begitu serius. Wajahnya pun bergurat dengan perasaan bingung bercampur cemas. Menyiratkan hatinya sedang gusar tak menentu.
Aku malah menatapnya bingung, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari bibirnya. Apa mungkin, Fadhil masih menyimpan rasa yang 3 tahun lalu kutinggal pergi?
“Apa kamu..”
“Ya! Aku masih mencintaimu. Bahkan rasa ini tak berkurang sedikit pun dari perjalanan waktu yang telah memisahkan kita.”
Kata-kata ku yang sempat dipotong olehnya. Tapi, ia seakan menjadi peramal yang mampu mengetahui maksud dari pertanyaanku itu walau belum sempat ku ucapkan.
“Tapi Fadhil, kamu sudah dijodohkan dengan wanita lain yang mungkin lebih tepat untuk kamu dan hidupmu.”
“Tidak.” jawabnya begitu cepat hingga hampir memotong kata-kataku lagi. “Bagiku, kamulah yang paling tepat untukku dan hidupku, Aisyah.” lanjutnya
“Fadhil sudahlah. Hidup itu realita bukan khayalan. Mungkin ini cara Allah memberitahu kita bahwa sebenarnya kita.. tidak berjodoh.” ucapku pasrah dengan takdir yang sudah terlanjur membalikkan arah mimpi cintaku.
“Aisyah, mengapa kamu jadi begini? Buang semua pikiran negatif kamu. Apa kamu tidak melihat, bahwa ini suatu cobaan yang sengaja Allah berikan untuk menguji cinta kita?”
“Menguji dengan sebuah pernikahan yang begitu suci dan sakral?” tanyaku yang aku sendiripun tak tau, darimana kata-kata itu berasal.
Fadhil tampak membisu, mungkin ia juga sedang mencerna kalimat yang tak sengaja kuucap tadi.
“Tapi aisyah..” kata-katanya terjegat kembali. Mungkin otaknya sedang berfikir keras untuk menemukan jawaban itu.
“Sudahlah Fadhil. Aku tak butuh jawaban itu. Tataplah kedepan. Lihatlah! Pasti disana akan ada cahaya yang menuntunmu menuju ruang kebahagiaan. Ikutilah perkataan orang tuamu. Ingatkah, jika ridho Allah bergantung pada ridho orang tua? Ya, itu jawaban dari penantianmu selama ini.” jelasku panjang lebar.
Entah kenapa aku bisa setegar itu mengucap semua nya pada Fadhil. Padahal, jauh di lubuk hatiku, di dalam mimpiku, aku begitu rapuh. Apakah aku munafik? Apa aku yang selalu bermimpi, karena takut menghadapi realita yang ada? Ya Allah maafkan hambamu ini. Yang tak sanggup menjalani takdir yang telah kau tetapkan.

Hari ini dengan langkah yang begitu berat, aku sempatkan untuk datang ke acara akad nikah Fadhil dan Nuraisha. Ya, namanya Nuraisha. Sesosok gadis yang kelak akan menjadi istri Fadhil. Namanya begitu indah. Begitupun ketika aku melihat foto yang ditunjukkan oleh Fadhil. Sosok yang tampaknya begitu sempurna. Terlebih karena ia sudah menunaikan ibadah haji di usianya yang cukup belia. Ia pun sudah mempunyai pondok pesantren atas namanya sendiri. Hebat bukan? Tak salah lagi, orang tua Fadhil memilih Nuraisha untuk menjadi pedamping hidup Fadhil.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku tidak tau berapa lama waktu yang telah ku lalui dengan sia-sia. Menunggu seseorang yang akhirnya menjadi milik orang lain. Tapi apa daya, aku tidak bisa merubah takdir. Aku hanya bisa mengikhlaskan dia. Aku tau ya Allah, kau lah yang paling tau siapa jodoh yang terbaik untuk hamba. Ku serahkan jodohku hidup dan matiku hanya padaMu.
Detik jam terus berputar. Akupun telah duduk disini. Menyaksikan Fadhil yang akan mempersunting wanita lain dan itu bukan aku. Aku harus ikhlas. Aku harus tegar.
Tiba-tiba ada suara handphone berdering. Tampaknya itu suara handphone milik Fadhil. Dengan sigap, Fadhil mengangkat panggilan itu dengan suara lembutnya.
Aku tidak tau, apa yang baru ia bicarakan barusan. Yang aku tau, raut wajahnya berubah seketika. Seperti orang yang baru saja mendengar kabar buruk.
Dugaan ku pun tepat. Ya. Nuraisha mengalami kecelakaan ketika sedang melakukan perjalanan kesini. Aku ikut Fadhil dan rombongannya untuk menjenguk Nuraisha di rumah sakit.
Baru kali ini aku melihat wajah Nuraisha untuk pertama kalinya. Tapi sayang, aku melihat wajahnya ketika nyawanya telah di ambil oleh sang maha kuasa. Aku tidak tau pasti kejadian sebenarnya. Aku hanya tau, ia mengalami pendarahan besar diotaknya yang mengakibatkan nyawanya tak dapat di tolong kembali.
Semua orang yang ada disini telah larut dalam kesedihan. Bagaimana tidak? Ia meninggal ketika hendak melangsungkan pernikahan. Dan pernikahan itu sendiri adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh umat manusia karena hanya diakukan sekali seumur hidup. Begitu suci, dan salah satu sunnah nabi.
Tapi, lagi-lagi ini telah menjadi garis takdirNya. Manusia tidak dapat merubah, manusia hanya bisa menerimanya dengan hati yang ikhlas.
Wajah Fadhil pun terlihat begitu cemas dan lelah. Mungkin ia masih belum bisa menerima kepergian calon istrinya itu.
Aku mencoba menghampiri Fadhil. “Sabar ya Fadhil. Di setiap kejadian pasti ada hikmahnya.” ucapku
“Iya, Aisyah. Aku tau, di balik kepedihan pasti ada kebahagiaan yang terkandung didalamnya. Yang aku tak mengerti, mengapa takdir harus mengalihkan jalan cintaku untuk yang kedua kalinya.” balasnya masih dengan wajah tirusnya
“Fadhil, kamu tidak boleh berburuk sangka sama Allah. Kamu harus yakin, bahwa Allah telah menyusun rencana yang paling indah untukmu.”
“Ya aku yakin. Terimakasih Aisyah, telah meyakinkanku.” Ucap Fadhil dengan senyum yang ia lempar dengan hangat.

Langit telah memperlihatkan pesona dari raja siang yang dapat menyilaukan mata. Burung-burung bertebangan membentuk suatu formasi yang begitu indah. Angin pun tidak henti-hentinya berhembus untuk membawa segenggam udara segar. Semuanya bertasbih, memuji keagungan Allah yang telah menyiptakan mereka semua dengan keajaibannya.
Entah kenapa hari-hari terakhir ini, aku jadi semakin dekat dengan Fadhil. Mimpi-mimipi itu pun seakan terajut kembali dengan sisa-sisa benang lalu yang mulai rapuh. Aku tidak tau, rencana apa yang sedang di susun sang Khalik terhadap jalan cintaku. Aku hanya bisa memasrahkan semua ini padaNya.
“Aisyah, bagaimana kuliahmu?” tanya Fadhil yang sedang duduk di taman bersama denganku
“Alhamdulillah baik Fad. Kamu gimana? ” balasku
“Alhamdulillah aku juga baik. Emm.. Aisyah, apa kamu tidak keberatan jika kita memulai kisah cinta kita dari awal lagi?” tanyanya yang begitu membuatku bahagia.
Aku hanya mengangguk pelan. Rasanya mimpi-mimpiku semakin kuat untuk menjadi nyata. Ya Robb inikah jalan takdirmu untuk kisah cintaku? Sungguh aku tak menyangka. Begitu indah jalan takdirmu.
Kini aku dan Fadhil telah bertaaruf. Dan jum’at esok insyaallah kami akan melangsungkan akad nikah. Ya, momen yang paling aku tunggu-tunggu sepanjang hidupku. Mimpiku menjadi nyata. Selama ini ternyata Allah selalu mendengar doa’doaku. Terimakasih ya Robb atas semua ini. Maafkan hamba karena sempat berputus asa atas jalan takdir yang telah kau tetapkan. Tapi ternyata, di balik itu semua kau telah menyiapkan kejutan indah bagi hambamu ini.