“Jay, lihat gadis itu!” Jill menunjuk ke arah seorang gadis
berambut pendek cantik yang baru saja ditinggal mobilnya. “Aku ingin
punya sahabat seperti itu. Dan mungkin ia bisa aku manfaatkan. Kau tau
maksudku, kan?”
“Dengar, Jill, aku tak akan membiarkanmu memanfaatkan orang seperti itu. Lagipula Mom bilang—”
“Terserahlah,” Jill memotong perkataan Jay dan menariknya ke arah si
gadis, “aku hanya ingin berteman. Aku janji. Hey, gadis cantik!” Gadis
itu memutar tubuhnya tepat saat Jill menepuk bahunya. Ia memperlihatkan
wajahnya yang secantik Dewi Yunani.
“Aku Jilldon. Siapa nama kamu?” Jill menyodorkan tangannya dan senyum selebar yang ia bisa.
“Aku Sam,” gadis itu — Sam — menyambut tangan Jill. Ia lalu melirik ke
arah Jay, “kamu saudaranya, ya? Kalian mirip.” Jay merasakan wajahnya
memerah. Ia tak pernah melihat gadis secantik Sam. Sam mengulurkan
tangan ke arah Jay. “Siapa nama kamu?”
“Well, aku saudara kembar Jill. Aku Jaydon.” Jay menyambut tangan Sam.
Halus sekali. Rasanya tak ada gadis selain Jill yang tangannya sehalus
dia. Ia menggelengkan kepala dan melepaskan tangan Sam. Sayang sekali.
“Anak baru?”
“Iya, pindahan dari Sydney.” Sam mengembangkan senyumnya, lalu melihat
sekeliling. Ia kebingungan dengan seluruh mata yang kini tertuju
padanya. “Apa ada sesuatu di wajahku? Kenapa orang-orang melihatku
seperti itu?”
Jill terkekeh. “Tidak ada apapun, mereka hanya kebingungan kenapa ada
seorang bidadari yang terjatuh ke sekolah mereka,” ia lalu menggandeng
Sam dan Jay, setengah menyeret mereka, “mari kuantar kau ke kelas.”
Sam tidak menyadari. Ini adalah awal sebuah keabadian yang ditawarkan
oleh Jill. Dan dia menerima dengan tangan terbuka lebar. Keabadian yang
menyakitkan. Keabadian yang menuntut untuk menyakiti dan membunuh.
—
Sesampainya Jill dan Jay di rumah, mereka langsung membanting tubuh
mereka ke sofa. Jay menikmati teh yang sudah disediakan Mrs. Oliver,
asisten rumah tangga di rumah keluarga Tomlin. Yang Mrs. Oliver tau,
Jill tidak suka beberapa macam makanan. Ia hanya tahu itu. Ia tidak tahu
bahwa Jill memang tidak suka ‘semua’ makanan manusia.
“Jill, sebaiknya kamu menjauhi Sam.”
Jill melotot. Ia sangat mengerti maksud Jay. Tapi biasanya Jay tidak
pernah peduli. Jay hanya melakukan apa yang almarhum Mom suruh — memberi
aku makan dan menjagaku. Selama ini ia sudah melakukan hal-hal itu
dengan sangat baik. “Apa maksudmu?”
“Tak ada maksud dibalik itu,” Jay menyesap teh-nya, “aku hanya meminta kali ini, jangan sakiti gadis itu.”
Jill mengernyitkan dahi. “Kamu jatuh cinta dengan Sam?”
“Ya.” Jay menjawab terang-terangan. Jay tidak pernah berbohong pada
Jill, begitu juga sebaliknya. Mereka bahkan tidak pernah basa-basi pada
satu sama lain. Mereka selalu punya sesuatu untuk dibicarakan. “Sadarkah
kini kau hampir menjadi seperti Emily dan Treya?”
Jill kembali membuka memori otaknya. Mendengar nama Emily dan Treya
membuatnya ingin muntah. Jill benci mereka. Mereka yang mengubah Jill
menjadi seperti sekarang ini — seperti monster. Walaupun Jay berkata
bahwa Jill semakin cantik, mereka tetap harus bertanggung jawab atas
perubahan ini. Tidak, bukan mereka, tepatnya hanya Treya. Tapi kini Jill
bisa bernapas lega karena Treya dan Emily sudah pergi entah kemana.
“Jangan sebut dia, Jay. Kau tau aku benci mereka.” Jill mengerang. Iris
matanya yang berwarna hitam perlahan berubah warna menjadi merah.
“Kemarikan jarimu, Jay.” Dengan sigap, Jay pindah tempat duduk ke
sebelah Jill, dan menyodorkan jarinya. Jill langsung menggenggam jarinya
dengan kencang, menggigitnya, lalu menghisap darahnya.
Hanya beberapa tetes darah manusia, dapat membuatku kenyang. Dapat
menggantikan darah sepuluh kelinci. Pikir Jill, lalu melepaskan tangan
Jay. Jay kini terlihat sedikit pucat. Jill tersenyum miris, lalu
mengelus tangan Jay.
“Aku menyayangimu, Jay. Aku tak bisa terus-terusan melihatmu berwajah
pucat setiap hari,” ia menghela napas, Jay membalas senyumannya, “aku
mau saja berburu. Tapi kau tau sendiri, tak ada cukup darah kelinci di
kota ini. Pada akhirnya, aku akan mengurung diri di kamar. Mengerang dan
mengutuk diri sendiri. Aku akan ada di luar kendali, lalu—”
“Diamlah, Jill. Aku senang, aku bisa bermanfaat untukmu. Aku
menyayangimu. DIsamping itu, aku juga menjalankan perintah Mom.” Jay
memeluk Jill. Mencoba menghapus semua rasa bersalahnya. Tapi walau
bagaimanapun, Jill tetap merasa bersalah. Itu yang membuatnya ingin
memanfaatkan Sam. Menjadikannya sahabat yang bisa menjaga rahasia, dan
menguras darahnya setiap hari.
“Maaf, tapi aku akan tetap melakukan rencanaku terhadap Sam.” Jill
melepaskan pelukan Jay. Tampak jelas kalau Jay kecewa. Tapi Jay tidak
pernah menuntut lebih dari Jill walaupun Jay amat sangat kecewa.
“Baiklah,” Jay menghela napas. Mencari kata-kata yang pas untuk
dikatakan agar Jill tidak tersinggung, lalu merengkuh wajah Jill dengan
kedua tangannya, “tapi usahakan agar tidak merubahnya. Oke?”
“Ya.” Jill pergi ke kamar, meninggalkan Jay sendirian berdoa agar Jill tidak merubah siapapun.
Jay tidak mengerti bahwa selama ini Jill kesepian. Setiap malam, Jill
terbaring dengan mata terbuka, berharap ada seseorang di luar sana yang
seperti dirinya. Selain Treya, tentunya. Ia mengimpikan hidup normal.
Bertambah tua dan menjalin cinta. Yang pasti, tidak abadi.
Jill berubah ketika ia dan Jay berumur enam belas dan sekarang Jay
berumur delapan belas. Sementara Jill akan terus berada dalam tubuh –
enam – belas – tahun miliknya. Mom bilang, mereka tidak boleh berkata
kalau mereka kembar ketika Jay berumur dua puluh tahun. Perbedaannya
akan terlihat jelas, orang-orang juga akan curiga.
Mom juga menasehati Jill untuk tidak jatuh cinta, ataupun mempunyai
sahabat, agar ‘kedok’ nya tidak ketahuan. Mom tidak pernah mengajari
untuk mengubah seseorang yang Jill cintai agar Jill bisa hidup abadi
bersamanya. Mom bilang itu sesuatu yang jahat.
Kini, setelah satu tahun kepergian Mom, dan untuk kesekian kalinya,
Jill merasa kesepian. Ia butuh nasihat Mom tentang apa yang harus
dilakukannya dengan Sam. Ia mulai meringkuk. Menyetel beberapa lagu
Bruno Mars keras-keras agar Jay tidak mendengar tangisannya. Ia lalu
menangis sejadi-jadinya. Ia memeluk tubuhnya sendiri, dan membenamkan
kukunya di punggungnya. Ia tidak peduli dengan sakit pada punggungnya.
Sesuatu yang ada di dalam tubuhnya lebih menyakitkan. Hatinya, sakit.
Ia tak tahan menghabiskan sisa malamnya yang panjang di kamar seperti
biasanya, jadi ia memilih keluar, mencari beberapa kelinci yang bisa
dikuras habis.
—
Berbulan-bulan mereka habiskan waktu di sekolah. Jill dan Jay kini
menginjak kelas dua belas. Begitu juga Sam. Mereka bertiga kini sangat
lengket. Hampir setiap malam mereka habiskan bersama—menginap di rumah
si kembar. Jay selalu menyediakan kamar tamu untuk Sam, dan menegaskan
Jill untuk tidak mengajaknya tidur bersama. Jay takut Jill akan
melakukan sesuatu yang diluar kendali.
Setelah Jill memastikan bahwa Sam sudah cukup dipercaya, Jill
mengatakan kalau ia bukan seorang gadis biasa. Ia monster. Sam berkata,
“apapun kamu, aku akan tetap menjadi sahabatmu. Karena kita sudah begitu
dari sebelum aku tau kamu itu ‘apa’, dan akan tetap begitu selamanya.”
Setelah itu, Sam tersenyum dengan sangat tulus. Dan Sam menawarkan
darah-nya untuk menjadi makanan Jill setiap hari. Jill mengiyakan dengan
senang hati.
Tapi kini Jill sadar. Ia kini mengingkari perkataan Mom. Tak seharusnya
ia menerima persahabatan Sam. Jill pun sekarang menyadari, bahwa ia
memang ingin bersahabat dengan Sam. Tanpa imbalan apapun, tanpa darah,
tanpa fisik sempurna atau apapun itu. Jill mencintai Sam sebagai
sahabat. Begitu pula sebaliknya. Pada akhirnya, Jill tidak pernah
meminta setetespun darah Sam.
Tapi, kita memang tidak bisa mengakali takdir. Apa yang ditakutkan
Jay, kini terjadi. Apa yang selama ini menjadi mimpi buruk mereka,
terpampang nyata di depan mereka. Hal itu dimulai ketika Jill meminta
Sam untuk tidur bersamanya. Ia bilang, mereka bisa melakukan midnight
gossip, movie marathon, dan sebagainya. Sam tertarik, dan ikut memohon
pada Jay.
Jay bisa saja tidak mengabulkan permohonan salah satu permintaan dari
kedua gadis itu. Tapi, keduanya adalah gadis yang dicintai Jay dan
permintaan mereka hanya satu. Apa susahnya untuk mengabulkan permintaan
sederhana itu? Lagipula Jill tidak pernah meminum darah Sam. Mereka
benar-benar bersahabat. Pikir Jay. Maka, Jay mengabulkan permintaan
mereka.
“Akhirnya ya, setelah sekian lama,” ujar Sam. Ia lalu menyetel lagu-lagu
dari Bruno Mars yang ada di meja Jill, “suka Bruno Mars juga?”
Jill hanya mengangguk senang. Ia lalu membaringkan tubuhnya di kasur.
Sam bernyanyi-nyanyi kecil sambil mengganti bajunya dengan piyama. “Apa
yang ditakutkan Jay kalau aku tidur denganmu? Ia takut kamu mengubahku?”
Sam melempar baju ke tasnya. “Aku tidak takut. Sepertinya menjadi
vampire itu seru. Kau tau, hidup abadi.”
Jill merasakan matanya memanas. Air mata menggebu-gebu ingin keluar. Sam
tidak tahu apa yang ia katakan. Ia bodoh. Sam bodoh. “Kau tidak bisa
berkata begitu. Menjadi makhluk sepertiku mengerikan. Tak ada serunya
hidup abadi jika kau tau orang-orang yang kau sayangi akan
meninggalkanmu,” Jill memberi jeda pada perkataannya. Ia mulai merasakan
pembuluh darahnya terbakar. Perutnya terasa kosong. Ususnya seperti
diperas habis-habisan. Iris matanya berubah menjadi merah terang. Ia
mengerang, dan menerjang Sam.
Jay sedang mencoba tidur ketika ia mendengar jeritan Sam. Mrs. Oliver
sudah pulang, dan rumahnya jauh dari tetangga. Ia tahu ini akan terjadi
cepat atau lambat. Paling tidak, tak ada orang awam yang tahu. Tapi
tetap saja, Jay tidak menginginkan ini.
Jay berlari secepat mungkin ke kamar Jill. Ia mendobrak, dan melihat
Sam mencoba mendorong Jill. Jay membantunya dengan cara menarik dan
langsung mengarahkan pergelangannya ke mulut Jill. Bodohnya aku. Aku
lupa memberi makan Jill.
Jay melihat dari balik Jill, Sam sedang mengejang dan jelas, kulitnya
yang berwarna kecoklatan kini berubah putih pucat. Bibirnya memerah,
begitu juga matanya. Jill pun sadar dan berteriak histeris. Ia menangis
sejadi-jadinya. Ia memeluk Sam dan mengucapkan “maaf” berkali-kali. Tapi
percuma, Sam sudah berubah. Sekarang pun, ia tak akan pernah mendengar
permohonan maaf Jill. Ia lapar.
Jay menarik Jill yang terus-terusan memeluk Sam, lalu memberikan pergelangannya yang lain ke mulut Sam.
6 TAHUN KEMUDIAN.
Jill mengarahkan mobilnya ke jalan menuju kota tempat tinggalnya yang
baru. Kini, ia harus hidup berpindah-pindah. Ia tak ingin dicurigai
warga kota karena keadaannya yang tidak pernah bertambah tua. Ia hanya
tinggal di sebuah kota selama tiga tahun, lalu pergi.
Sebelum keputusannya untuk berpindah-pindah, ia mampir ke makam Mom,
Jay dan Sam. Ya, Jay dan Sam sudah meninggalkan Jill. Sekitar tiga bulan
setelah perubahan Sam, ia dan Jay resmi berpacaran. Cinta mereka
berlebihan. Hal yang menurut Jill amat sangat tidak baik. Atau mungkin
ini hanya perasaan iri Jill karena takut tergantikan? Entahlah, Jill
sendiri tidak tahu.
Tepat ketika mereka mengadakan anniversary yang pertama, Jay
kecelakaan ketika sedang di jalan menuju rumah Sam. Jay koma selama
berminggu-minggu. Sam ingin untuk mengubah Jay menjadi seperti dirinya,
agar ia tidak kehilangan Jay. Tapi tentu saja, Jill melarang. “Kita
tidak bisa mengubah takdir, Sam.”
“Bisa! Aku akan mengubahnya sekarang juga!” Sam berteriak.
“Kita memang bisa. Tapi tolong pikirkan apa yang akan terjadi. Kau pikir
Jay akan senang dirubah seperti itu? Selama bertahun-tahun aku hidup
dengannya, aku tidak pernah berpikir untuk merubahnya. Kau tau kenapa?
Aku menyayanginya. Aku tak ingin dia merasakan lapar yang menyiksa. Tak
bisakah kau mengerti itu?” Jill menghela napas, lalu melanjutkan,
“Terkadang, apa yang menurutmu baik belum tentu baik di mata orang lain.
Dan terutama, belum tentu yang terbaik di mata orang tersebut.”
Setelah itu, Sam menahan diri untuk tidak merubah Jay. Tapi ternyata,
Jay memang tidak bisa tertolong. Jay meninggalkanku. Meninggalkan kami.
Sam tidak bisa menerima semua kenyataan berat ini. Kini ia mengerti
bahwa hidup abadi itu menyesakkan. Jill berkata padanya, “kau masih
punya aku.” Tapi ia hanya tersenyum, dan pergi seharian.
Sampai akhirnya, Jill mendengar kabar kalau Sam meninggal di hutan. Ia
mematahkan kepalanya sendiri. Jasadnya ditemukan di hutan Trezlewood.
Jill membawa tiga bunga mawar. Ia mengunjungi makam Mom. Jill menaruh
setangkai bunga. Matanya mulai berair, dan ia tidak mencoba untuk
menahannya. “Pada akhirnya aku sendiri, Mom. Mungkin aku memang tidak
ditakdirkan untuk memiliki siapapun. Pertama Mom, ibuku yang paling
berharga. Lalu saudara yang kucintai, Jay. Lalu Sam,” Jill mengusap
airmatanya. Tapi airmata itu tetap saja keluar, “siapa lagi Mom? Siapa
lagi yang akan diambil oleh waktu dan takdir? Mengapa takdirku menjadi
monster?”
Jill berdiri. Mengusap matanya. Airmatanya tidak mengalir lagi kini. Ia
meninggalkan makam Mom, dan pergi menuju makam Jay dan Sam. Makam mereka
bersebelahan. Jill tahu mereka menginginkan ini.
Ia menaruh setangkai mawar di masing-masing makam. Ia tersenyum. “Semoga
kalian tenang disana. Aku mencintai kalian. Sangat. Sampai jumpa, dan
maafkan aku.”
Jill kembali ke mobil. Riasannya sudah luntur oleh airmata. Tapi kini
ia sadar, airmata tak akan menyelesaikan masalah. Melegakan, tapi tidak
selamanya. Cara menyelesaikan masalah adalah dengan melaluinya. Jill
akan melalui ini. Ia tak akan menyerah seperti Sam. Ia tak akan lagi
mengubah orang lain seperti apa yang dilakukan Treya dan dirinya dulu.
Jika ia tak punya makanan, ia akan mengurung dirinya di kamar sampai
mati. Ia tak akan menyakiti manusia lainnya. Jill akan menjalani
segalanya sendiri. Karena dari awal takdirnya adalah untuk menjadi
sendirian di dunia yang luas ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar