“Aisyah..” panggil seseorang yang suranya sudah tak asing
lagi bagiku. Akupun menoleh ke belakang dengan senyuman hangat yang ku
persembahkan hanya untuknya.
“Kamu kapan kembali lagi kesini?” tanya lelaki itu, Fadhil. Ia menatapku
dengan sorot mata penuh pengharapan. Tetapi langsung ku tepis pandangan
itu dengan mengucap istigfar. Aku tidak mau menambah catatan amal
keburukanku hanya karena menatap yang bukan mukhrimku.
“Hei, aisyah.” ucapnya lagi, menyadarkan lamunanku.
“Oh ehm.. Aku nggak tau Fad, mungkin aku nggak balik lagi kesini.
Memangnya kenapa?” jawabku gugup, lalu memalingkan wajahku ke arah anak
kecil yang sedang asyik bermain bola
Sekilas kulihat raut wajah Fadhil yang berubah menjadi murung. Aku jadi
kasihan melihatnya, dan mencoba menanyakan sesuatu padanya, “Fadhil, apa
kamu sedang ada masalah?” tanyaku.
Fadhil tampak diam membisu. Pandangannya terlihat kosong. Tak lama, ia
menghela napas berat. “Aisyah, aku mencintaimu. Dan masalah yang akan
kuhadapi, aku harus kehilanganmu. Entah seberapa lama atau mungkin
selamanya.” ucapnya gemetar seraya menitikkan beberapa air mata yang
buru-buru dihapusnya. Mungkin ia tidak mau terlihat sebagai lelaki
cengeng dihadapanku. Karena selama ini, ia selalu berpenampilan rapi,
santun dan juga sangat menjaga lisannya ketika berbicara padaku.
Tapi entah mengapa kata-katanya sangat menyentuh. Padahal sudah berulang
kali ia menyatakan cintanya padaku, namun baru kali ini kata-katanya
mampu mengetuk lubuk hatiku. Ya! rasanya telah tak terhitung berapa kali
ia mengucap kata cinta untukku. Namun selalu kutepis. Aku selalu
mengatakan untuk konsisten tidak ingin berpacaran. Selain melanggar
hukum agama, pacaran juga pasti banyak menghabiskan uang. Sedangkan aku
ingin lebih fokus untuk menjalani masa SMA-ku supaya bisa meraih
beasiswa di perguruan tinggi. Dan aku juga harus menyisihkan uangku
untuk keperluan masuk ke perguruan tinggi itu.
Walaupun aku juga memiliki rasa lebih dengannya. Tapi, tak apalah aku
hanya ingin membuktikan bahwa imanku lebih kuat daripada nafsu yang
menyeringai.
Suasana hening sesaat sampai Fadhil menepis keheningan ini.
“Tapi Aisyah, jika ini memang cita-citamu. Kejarlah! kau lebih pantas
meraih cita-cita daripada harus mengorbankan cinta.” Lanjutnya
menghentakanku.
Seakan kata-katanya berubah menjadi siraman rohani yang begitu mudah
masuk kedalam sanubari. Jarang sekali ia berucap bagai malaikat seperti
ini. Atau mungkin memang aku yang belum terlalu mengenalnya.
Kutengadahkan pandangaku langit, mencari sisa-sisa cahaya senja yang
masih menyelimuti langit sore ini. Kicauan burung pun mulai
bersahut-sahutan menyambut datangnya petang. Sungguh indah ciptaanmu
ini, ya Allah. Sama indahnya seperti kau ciptakan manusia yang hidup
berpasangan.
”Fadhil, setiap orang yang mempunyai cita-cita pasti orang tersebut
ingin mewujudkannya. Tidak ada satu pun orang yang membiarkan
cita-citanya terhapus oleh ombak dan terbawa arus lautan. Aku yakin kamu
pun begitu. Dan bilamana Allah telah mentakdirkan kita untuk berjodoh,
pasti suatu saat nanti kita akan dipertemukan kembali oleh-Nya.
Percayalah fadhil.” ucapku mengakhiri perbincangan yang terjadi sekitar 3
tahun lalu. Ya! aku masih ingat, bahkan setiap detail gerakannya pun
masih terlukis indah di memoriku. Senyumannya seakan tak pernah terhapus
terakan oleh waktu. Aku merinduinya. Ya, aku merinduinya.
Petang mulai datang menyambar. Semilir angin yang sudah mulai dingin
terasa semakin menusuk kulitku. Entah mengapa, petang selalu melukiskan
keceriaan yang diliputi kesedihan. Sedih karena sang raja siang telah
pergi bersama cahaya indahnya dan senang karena ‘kan datang malam yang
dihiasi kelap-kelip cahaya bintang dan bulan yang selalu menjadi
primadona malam. Dan mungkin karena petang mempunyai kenangan tersendiri
bagiku.
Tak lama, terdengar suara adzan maghrib yang begitu lembut bergetar
ditelingaku. Dengan sigap ku alihkan pandanganku dari misteri petang dan
ku percepat langkahku untuk mengambil air wudhu yang selalu
menyengarkan jiwa.
Kubentangkan sajadah kearah kiblat-Nya dan memulai sholat Maghrib ini
dengan penuh kekhusyukan, demi mengharap ridho dan rahmat-Nya. Hatiku
terasa lebih damai daripada sebelumnya, sungguh rahmat yang luar biasa
telah kurasakan. Kini, kuangkat kedua tanganku dengan penuh pengharapan.
“Ya Allah.. Terimakasih atas rahmat dan kasih sayang Mu yang telah kau
curah limpahkan kepada hambamu ini. Ya Robb, engkaulah Dzat yang maha
mengetahui segalanya. Engkau pun tau, siapakah imam yang akan memimpin
keluarga hamba nanti. Apakah ia ya Robb? Yang selalu datang menyusup
melewati rongga-rongga kesepian di hati ini? Aku hanya mampu berharap.
Namun jangan biarkan cinta ini tumbuh terlalu dalam padanya. Tapi
sesungguhnya engkaulah yang maha tau siapa yang terbaik untuk hamba.
Siapapun ia, jagalah dia selalu. Sempurnakanlah akhlaknya, agar bisa
menuntun hamba menuju ke surga-Mu nanti. Aamiin”
Kutapakkan kaki di atas jalan aspal yang telah di jemur seharian oleh
terik matahari. Menyusuri liku jalan yang penuh kebisingan dari suara
kendaraan yang sedang berlalu lalang.
Semilir angin sejuk menemaniku yang sedang duduk terpaku bersender di
bawah pohon mahoni. Ya! Terpaku dalam kesendirian yang semakin
menyesakkan dada. Langsung ku ambil buku diary yang tersimpan rapi di
tas ku. Dan kurangkai kata-kata rindu, rindu akan sosok lelaki yang kan
menjadi imamku kelak. Ingin cepat rasanya bertemu dengannya. Ya Allah
sabarkanlah hati hambamu ini. Hamba yakin kau pasti punya cara terbaik
untuk mempertemukan hamba dengannya.
Tak lama, ku tutup buku diary itu, kupandangi langit malam yang
tertabur bintang dengan cahaya kelap-kelipnya. Aku terenyuh
memandangnya. Tanpa ku sadari, sosok lelaki yang sepertinya tak asing
lagi bagiku sudah duduk disampingku. Entah sejak kapan ia berada disitu.
Apa ia mendengar curhatan hatiku pada sang Khalik? Apakah ia mengetahui
isi hatiku? Ah sudahlah, lagipula ia tak ada urusan denganku. Tapi,
siapakah ia? Sepertinya aku sangat mengenalinya.
Aku masih mencoba mengingat wajahnya sambil terus memperhatikan ia
yang sedari tadi diam membisu, menatap lekat layar handphone yang ia
genggam erat. Ingin rasanya kusapa ia yang masih terpaku. Tapi nampaknya
nyali ini lebih kecil daripada inginku. “a..a” Payah! Kenapa lidahku
menjadi kelu? Mulutku seperti terkunci oleh gembok yang begitu kuat.
Entah kenapa detak jantungku berubah, berdetak lebih kencang daripada
sebelumnya. Ternyata yang berada disampingku sejak tadi, ialah Fadhil.
Oh! Sosok yang tak pernah ku fikir akan kujumpai lagi, sosok yang selama
ini ku rindukan, sosok yang selama ini ku impikan menjadi imam dalam
keluargaku. Aku tak percaya, dapat bertemu lagi dengannya.
“Aisyah.”
“Fadhil.”
“Aisyah, apa betul ini kau?”
“Ya ini aku, Aisyah. Temanmu dulu.”
“Aisyah, aku tak menyangka dapat bertemu kamu lagi disini.” ucap Fadhil
dengan mimik yang hampir sama ketika aku masih berada di Bandung, satu
pondok pesantren dengannya.
“Aku juga Fadhil. Ini terasa seperti mimpi.” Balasku. ‘mimpi yang menjadi nyata’ lanjutku dalam hati
Aku dan Fadhil masih meneruskan perbincangan itu. Namun, malam lebih
cepat datang. Aku mengakhiri perbincangan itu, takut nanti akan menjadi
fitnah jika sudah larut malam masih berbincang berdua dan kami pun
berjanji besok akan bertemu kembali di taman ini.
—
Aku tak akan lupa janji itu. Tapi, mengapa Fadhil belum juga datang?
Apa ia lupa? Padahal aku sudah menunggu 1 jam lamanya. Tidak biasanya
Fadhil seperti ini, telat datang di suatu perjanjian. Dengan hati yang
begitu kecewa, akhirnya aku pun meninggalkan taman itu. karena sebentar
lagi adzan Maghrib akan berkumandang, memenuhi isi ruang perut bumi ini.
Sebelum aku melangkah lebih jauh, aku sempatkan untuk menengok ke
belakang siapa tau Fadhil telah datang disana. Tapi sewaktu aku melempar
pandangan ku ke arah tempat duduk di taman sana, tak ada seorang pun.
Bahkan orang yang berlalu lalang pun tak ada. Taman itu tampak kosong.
Seperti tempat mati yang tidak berpenghuni.
Dan akhirnya aku melanjutkan langkahku yang sempat terhenti tadi.
Sambil mencoba menghilangkan pikiran negatif yang semakin menyerang akal
sehatku.
—
“Maaf Aisyah, kemarin aku nggak bisa datang. Aku benar-benar ada
urusan penting, jadi tidak sempat mengabari mu. Apa kamu marah padaku?“
Aku hanya berdehum pelan sambil memampang senyum dihadapannya.
Sebetulnya aku begitu kecewa atas kejadian kemarin. Tapi tak apalah, aku
hanya ingin mengambil hikmah dari setiap kejadian.
“Oh iya Aisyah, sebenarnya ada suatu hal yang aku mau katakan padamu.”
ucap Fadhil dengan nada yang sedikit menaik dan memandang kosong
batu-batuan yang tersusun rapi di sisi kiri taman ini.
“Apa itu?” tanyaku cepat
“Lusa, aku akan melangsungkan akad nikah.” jawab Fadhil datar.
Aku lansung merunduk lemah setelah mendengar itu, seolah tak percaya
akan kalimat yang baru ia ucap. Mimpi-mimpiku seakan hancur seketika.
Sepenggal asa yang kupunya juga perlahan menjauhi harapku. Aku tidak
mengerti, mengapa takdri harus berkata seperti ini. Sungguh berbanding
terbalik dengan semua mimpi-mimpi yang telah ku ukir sempurna.
Tapi anehnya, aku sama sekali tak melihat wajah bahagianya yang biasa
terpampang jika setiap orang akan melakukan suatu upacara yang sangat
suci sehidup semati. Ya, pernikahan. Entah ini hanya pikirku atau memang
benar adanya.
“Selamat ya Fadhil.” Ucapku begitu berat tanpa sedikitpun memandangnya.
“Kenapa kamu mengucapkan selamat padaku?” tanya Fadhil yang sungguh aku tak mengerti apa maksud dari pertanyaan itu.
“Maksudnya?”
“Iya. Bukankah kamu memiliki rasa lebih denganku? Aku pun begitu,
Aisyah. Aku benar-benar tidak tau, mengapa harus perjodohan ini yang
menjadi pemisah cinta kita.” Fadhil berkata begitu serius. Wajahnya pun
bergurat dengan perasaan bingung bercampur cemas. Menyiratkan hatinya
sedang gusar tak menentu.
Aku malah menatapnya bingung, mencoba mencerna setiap kata yang keluar
dari bibirnya. Apa mungkin, Fadhil masih menyimpan rasa yang 3 tahun
lalu kutinggal pergi?
“Apa kamu..”
“Ya! Aku masih mencintaimu. Bahkan rasa ini tak berkurang sedikit pun dari perjalanan waktu yang telah memisahkan kita.”
Kata-kata ku yang sempat dipotong olehnya. Tapi, ia seakan menjadi
peramal yang mampu mengetahui maksud dari pertanyaanku itu walau belum
sempat ku ucapkan.
“Tapi Fadhil, kamu sudah dijodohkan dengan wanita lain yang mungkin lebih tepat untuk kamu dan hidupmu.”
“Tidak.” jawabnya begitu cepat hingga hampir memotong kata-kataku lagi.
“Bagiku, kamulah yang paling tepat untukku dan hidupku, Aisyah.”
lanjutnya
“Fadhil sudahlah. Hidup itu realita bukan khayalan. Mungkin ini cara
Allah memberitahu kita bahwa sebenarnya kita.. tidak berjodoh.” ucapku
pasrah dengan takdir yang sudah terlanjur membalikkan arah mimpi
cintaku.
“Aisyah, mengapa kamu jadi begini? Buang semua pikiran negatif kamu. Apa
kamu tidak melihat, bahwa ini suatu cobaan yang sengaja Allah berikan
untuk menguji cinta kita?”
“Menguji dengan sebuah pernikahan yang begitu suci dan sakral?” tanyaku
yang aku sendiripun tak tau, darimana kata-kata itu berasal.
Fadhil tampak membisu, mungkin ia juga sedang mencerna kalimat yang tak sengaja kuucap tadi.
“Tapi aisyah..” kata-katanya terjegat kembali. Mungkin otaknya sedang berfikir keras untuk menemukan jawaban itu.
“Sudahlah Fadhil. Aku tak butuh jawaban itu. Tataplah kedepan. Lihatlah!
Pasti disana akan ada cahaya yang menuntunmu menuju ruang kebahagiaan.
Ikutilah perkataan orang tuamu. Ingatkah, jika ridho Allah bergantung
pada ridho orang tua? Ya, itu jawaban dari penantianmu selama ini.”
jelasku panjang lebar.
Entah kenapa aku bisa setegar itu mengucap semua nya pada Fadhil.
Padahal, jauh di lubuk hatiku, di dalam mimpiku, aku begitu rapuh.
Apakah aku munafik? Apa aku yang selalu bermimpi, karena takut
menghadapi realita yang ada? Ya Allah maafkan hambamu ini. Yang tak
sanggup menjalani takdir yang telah kau tetapkan.
—
Hari ini dengan langkah yang begitu berat, aku sempatkan untuk datang
ke acara akad nikah Fadhil dan Nuraisha. Ya, namanya Nuraisha. Sesosok
gadis yang kelak akan menjadi istri Fadhil. Namanya begitu indah.
Begitupun ketika aku melihat foto yang ditunjukkan oleh Fadhil. Sosok
yang tampaknya begitu sempurna. Terlebih karena ia sudah menunaikan
ibadah haji di usianya yang cukup belia. Ia pun sudah mempunyai pondok
pesantren atas namanya sendiri. Hebat bukan? Tak salah lagi, orang tua
Fadhil memilih Nuraisha untuk menjadi pedamping hidup Fadhil.
Waktu berlalu begitu cepat, hingga aku tidak tau berapa lama waktu
yang telah ku lalui dengan sia-sia. Menunggu seseorang yang akhirnya
menjadi milik orang lain. Tapi apa daya, aku tidak bisa merubah takdir.
Aku hanya bisa mengikhlaskan dia. Aku tau ya Allah, kau lah yang paling
tau siapa jodoh yang terbaik untuk hamba. Ku serahkan jodohku hidup dan
matiku hanya padaMu.
Detik jam terus berputar. Akupun telah duduk disini. Menyaksikan
Fadhil yang akan mempersunting wanita lain dan itu bukan aku. Aku harus
ikhlas. Aku harus tegar.
Tiba-tiba ada suara handphone berdering. Tampaknya itu suara
handphone milik Fadhil. Dengan sigap, Fadhil mengangkat panggilan itu
dengan suara lembutnya.
Aku tidak tau, apa yang baru ia bicarakan barusan. Yang aku tau, raut
wajahnya berubah seketika. Seperti orang yang baru saja mendengar kabar
buruk.
Dugaan ku pun tepat. Ya. Nuraisha mengalami kecelakaan ketika sedang
melakukan perjalanan kesini. Aku ikut Fadhil dan rombongannya untuk
menjenguk Nuraisha di rumah sakit.
Baru kali ini aku melihat wajah Nuraisha untuk pertama kalinya. Tapi
sayang, aku melihat wajahnya ketika nyawanya telah di ambil oleh sang
maha kuasa. Aku tidak tau pasti kejadian sebenarnya. Aku hanya tau, ia
mengalami pendarahan besar diotaknya yang mengakibatkan nyawanya tak
dapat di tolong kembali.
Semua orang yang ada disini telah larut dalam kesedihan. Bagaimana
tidak? Ia meninggal ketika hendak melangsungkan pernikahan. Dan
pernikahan itu sendiri adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh
umat manusia karena hanya diakukan sekali seumur hidup. Begitu suci, dan
salah satu sunnah nabi.
Tapi, lagi-lagi ini telah menjadi garis takdirNya. Manusia tidak dapat
merubah, manusia hanya bisa menerimanya dengan hati yang ikhlas.
Wajah Fadhil pun terlihat begitu cemas dan lelah. Mungkin ia masih belum bisa menerima kepergian calon istrinya itu.
Aku mencoba menghampiri Fadhil. “Sabar ya Fadhil. Di setiap kejadian pasti ada hikmahnya.” ucapku
“Iya, Aisyah. Aku tau, di balik kepedihan pasti ada kebahagiaan yang
terkandung didalamnya. Yang aku tak mengerti, mengapa takdir harus
mengalihkan jalan cintaku untuk yang kedua kalinya.” balasnya masih
dengan wajah tirusnya
“Fadhil, kamu tidak boleh berburuk sangka sama Allah. Kamu harus yakin,
bahwa Allah telah menyusun rencana yang paling indah untukmu.”
“Ya aku yakin. Terimakasih Aisyah, telah meyakinkanku.” Ucap Fadhil dengan senyum yang ia lempar dengan hangat.
—
Langit telah memperlihatkan pesona dari raja siang yang dapat
menyilaukan mata. Burung-burung bertebangan membentuk suatu formasi yang
begitu indah. Angin pun tidak henti-hentinya berhembus untuk membawa
segenggam udara segar. Semuanya bertasbih, memuji keagungan Allah yang
telah menyiptakan mereka semua dengan keajaibannya.
Entah kenapa hari-hari terakhir ini, aku jadi semakin dekat dengan
Fadhil. Mimpi-mimipi itu pun seakan terajut kembali dengan sisa-sisa
benang lalu yang mulai rapuh. Aku tidak tau, rencana apa yang sedang di
susun sang Khalik terhadap jalan cintaku. Aku hanya bisa memasrahkan
semua ini padaNya.
“Aisyah, bagaimana kuliahmu?” tanya Fadhil yang sedang duduk di taman bersama denganku
“Alhamdulillah baik Fad. Kamu gimana? ” balasku
“Alhamdulillah aku juga baik. Emm.. Aisyah, apa kamu tidak keberatan
jika kita memulai kisah cinta kita dari awal lagi?” tanyanya yang begitu
membuatku bahagia.
Aku hanya mengangguk pelan. Rasanya mimpi-mimpiku semakin kuat untuk
menjadi nyata. Ya Robb inikah jalan takdirmu untuk kisah cintaku?
Sungguh aku tak menyangka. Begitu indah jalan takdirmu.
Kini aku dan Fadhil telah bertaaruf. Dan jum’at esok insyaallah kami
akan melangsungkan akad nikah. Ya, momen yang paling aku tunggu-tunggu
sepanjang hidupku. Mimpiku menjadi nyata. Selama ini ternyata Allah
selalu mendengar doa’doaku. Terimakasih ya Robb atas semua ini. Maafkan
hamba karena sempat berputus asa atas jalan takdir yang telah kau
tetapkan. Tapi ternyata, di balik itu semua kau telah menyiapkan kejutan
indah bagi hambamu ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar