Aku memiliki sahabat bernama Valerie, kami sangat dekat semenjak duduk di bangku SMP. Kami selalu ke mana-mana berdua, menghabiskan banyak waktu berdua, bahkan bersekolah di tempat yang sama hingga di bangku SMA. Karena tak ingin terpisah, kami memilih berkuliah di tempat yang sama, walaupun mengambil jurusan berbeda.
Masuk di bangku kuliah, tak kusangka aku segera memiliki kekasih yang sangat kucintai. Mario, sosok yang benar-benar seperti kuimpikan sebelumnya. Ia selalu menjaga dan menemaniku ke mana-mana. Sigap mengerti diriku dan menghadapi sikapku yang terkadang manja. Segera, aku, Valerie dan Mario sering menghabiskan waktu bersama. Saling bercanda dan bertukar pikiran. Karena sangat sayang pada sahabatku, aku hampir selalu mengajak Valerie ke manapun kami berkencan. Kupikir, rasanya tak adil meninggalkan dirinya dan membiarkannya kesepian. Ternyata aku salah. Tindakanku justru menjadi bumerang bagiku sendiri, karena di sinilah awal mula kekecewaanku itu.
***
Lima bulan
hubunganku berjalan dengan sangat manis dan romantis, namun menginjak bulan ke
enam, mendadak Mario dingin terhadapku. Kami jarang keluar dan bercanda seperti
dulu lagi. Bahkan, aku lebih sering menghabiskan waktuku sendiri. Aku sempat
menceritakan hal ini pada Valerie, tetapi ia terus menghiburku dan membesarkan
hatiku. "Sudah lah San, mungkin ia sedang sibuk. Kan kuliah sedang
penuh-penuhnya dengan tugas-tugas. Kamu sendiri juga merasakan, jadi seharusnya
kamu bisa mengerti kan?" ungkap Valerie di telepon. Aku juga merasa
semakin jarang bertemu Valerie. Katanya sih ia juga sibuk dengan tugas-tugas
kuliahnya. Untungnya hampir setiap malam ia tetap meneleponku, menjadi teman
berceritaku sehingga aku merasa ia tetap ada untukku (setidaknya itulah pikirku
saat itu.)
***
Hari ini
adalah setahun kami berpacaran. Tetapi, makin hari kenapa aku merasa semakin
jauh dan seperti tak punya pacar ya? Aku bagaikan kekasih yang tak dianggap,
dan dijadikan nomor kesekian. Iya, aku tahu, kuliah memang suatu hal yang serius
dan tak bisa dipandang sebelah mata. Tetapi sesibuk itukah hingga ia tak ingat
hari jadian kami? Kegelisahanku segera terjawab ketika aku merasa bosan dan
memilih untuk sekedar berjalan-jalan ke mall dan memanjakan mata.Setelah sampai di mall aku terkejut bukan main. Sekelebat aku seperti melihat dua orang yang kukenal sedang berjalan bergandengan tangan dengan mesra. Iya, itu Valerie dan Mario. Segera kuikuti mereka dari belakang dengan mengendap-endap perlahan. Kubiarkan mereka dan kuamati apa saja yang mereka lakukan. Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah jatuh cinta, yang memuja satu sama lain. Semua hal itu terlihat dari mata keduanya, dan bagaimana mereka saling membalas sentuhan dengan manja.
Perlahan aku meneteskan air mata. Aku bimbang, apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus marah kepada orang yang dekat dan kucintai itu? Emosiku berhasil kuredam. Kutenangkan diriku dan berjalan ke arah mereka berdua sambil tetap tersenyum. "Kukira kalian ke mana, ternyata ada di sini. Sudah pesan makanan? Aku lapar..." kataku. Seperti yang kuduga, mereka sama terkejutnya denganku. Valerie bergeser memberiku ruang dan kemudian tertunduk. Ia tak berani memandang dan menjawab pertanyaanku. Demikian juga dengan Mario yang hanya membisu. Aku membuka suara lagi, "aku mungkin orang yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalian perlu ingat bahwa aku adalah orang yang sangat mencintai kalian... Aku tak perlu penjelasan apapun saat ini, rasanya semua begitu rumit. Aku hanya minta pada kalian berdua, ini adalah pilihan kalian, dan jangan sampai hubungan kalian rusak karena apa telah kalian korbankan sangat besar. Camkan itu." Aku berjalan pergi meninggalkan mereka. Meninggalkan orang yang kucintai. Meninggalkan mereka yang telah menusukku dari belakang.
***
Valerie
berusaha menghubungiku, baik lewat telepon, datang ke rumah, mengirim surat,
hingga meninggalkan pesan di akun socmedku. Aku terdiam tak menjawabnya. Bagiku
sudah cukup pengorbanan yang telah kulakukan untuknya. Aku yang saat ini
terluka, masih belum bisa bersikap seperti dulu kepadanya. Rasanya aku tak
sanggup lagi melihat senyum dan manjanya pada mantan kekasihku itu. Aku memaafkannya,
tetapi aku tak ingin bersahabat lagi dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar