Sabtu, 16 November 2013


“Ini, buat kamu”, seraya menjulurkan bunga edelweis.
“Ini kan…”, belum sempat ku menyelesaikan kata kataku, tiba tiba dia memotong ucapanku.
“Iya, dulu kan kamu pernah minta ini kalau aku sudah pulang dari luar negeri” , jelasnya.
Ternyata dia sama sekali tidak lupa, meskipun sudah 4 tahun tidak pernah saling menghubungi. Bunga yang melambangkan keabadian ini, memang sudah sejak lama aku menginginkannya. Tak ada yang berubah. Meskipun sudah 4 tahun aku tak melihatnya. Garis wajahnya, rambutnya yang ikal, alisnya yang hitam tebal, bola matanya yang bulat coklat, msh sama seperti dulu. Sudah sejak kecil aku mengenalnya. Dia tetangga baruku sewaktu aku kecil.
“Nama kamu siapa?”
“Aku Ines, kamu?”
“Aku Tio”
“Kamu pindah darimna?”
“Dari luar kota, karena Papa ku lagi ada urusan bisnis di sini, jadi kami terpaksa pindah ke sini”
“Hmm. Aku senang punya teman baru. Semoga kita bisa berteman baik ya”
“Iya, aku juga”
Sejak saat itu aku menjadi akrab dengannya. Main bersama, jalan jalan bersama keluarganya dan keluargaku. Dan kami pun berjanji untuk tetap bersahabat baik hingga besar nanti. Ketika suatu hari ia mengajakku ke taman dekat rumah, sepertinya ada hal penting yang ingin ia bicarakan.
“Minggu depan aku akan pindah”
“Pindah kemana? Kenapa mendadak?”
“Ke luar negeri. Sebenarnya aku ingin memberitahumu sejak awal, tapi aku takut kamu sedih lalu menjauh dariku”
Sebenarnya aku juga sudah tahu kalau dia ingin pindah ke luar negeri. Mamah yang memberitahuku. Ku kira itu hanya
omongan saja, tapi ternyata…
“Kamu mau minta hadiah apa dariku?”
“Apa aja?”
“Iya. Apa yang kamu mau, aku akan kasih”
“Kamu tahu kan, kalau dari dulu aku sangat menginginkan bunga itu?”
“Edelweis? Hanya itu saja?”
“Iya, hanya itu saja”
“Baiklah”
Tiba tiba ia menyadarkan lamunanku. Membuat pandanganku membaur. Ia mulai mengungkapkan sesuatu.
“Maaf…”, kata katanya terputus.
“Aku tak bisa lama lama tinggal d sini”, sambungnya.
“Kenapa?” tanyaku penasaran.
“Maaf, aku baru bisa memberitahumu sekarang. Karena aku akan balik lagi ke luar negeri. Bulan depan aku akan menikah”
Glek. Menikah?
Tiba tiba pandanganku menjadi buram. Bayangan wajahnya perlahan menghilang di telan bayangan.
“Ines… Ayo bangun! Sudah jam setengah 9. Nanti kamu telat kuliahnya!”
“Yaahhh, Mamah… Lagi nanggung juga mimpinya”
Ternyata hanya mimpi. Aku menghembuskan nafas lega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar